Pihak rumah sakit melakukan X-ray dada ulang dan meminta temannya menjalani tes Covid-19 di pusat kesehatan setempat. Namun, sang dokter tidak bersedia memberi surat rekomendasi. Sebaliknya, dia dipulangkan menggunakan taksi.
"Mereka bilang kawan saya mesti membuka jendela taksi dan semuanya akan baik-baik saja," kata Jordain.
Pada 17 April, Jordain mengontak pusat kesehatan setempat. Selama dua jam dia dirujuk ke sejumlah bagian.
Jordain menjawab beberapa pertanyaan sebelum akhirnya dia berhasil membuatkan janji tes untuk kawannya. Tapi dia mendapat peringatan.
Baca Juga: Pasien Covid-19 di Lumajang Ini Sembuh Setelah 15 Kali Jalani Tes Swab
"Dia harus masuk dari pintu samping. Dia tidak boleh berkata kepada siapapun di mana lokasi tes. Itu bisa memicu kekacauan," ujar Jordain mengulang peringatan yang diterimanya.
Di luar konteks tekanan yang membuat seseorang menanggap kesehatannya dalam ancaman, mengapa semua kisah ini penting? Lagi pula angka kematian akibat Covid-19 di Jepang sangat rendah, di bawah 400 orang.
Di media sosial saya kerap diberitahu bahwa Jepang mengidentifikasi siapa yang benar-benar membutuhkan bantuan dan layanan kesehatan di negara itu mumpuni.
Dan itulah yang disebut mengapa sangat sedikit orang meninggal akibat penyakit ini.
Semua pemaparan tadi tidak keliru, menurut Kenji Shibuya, seorang profesor di Kings College London.
Baca Juga: Keluarga Pasien Positif Corona Tak Jujur, 53 Paramedis RS Sardjito Tes Swab
"Dari sudut pandang dokter, itu masuk akal," ujarnya.