Suara.com - Kelompok perempuan transgender di Indonesia menjadi salah satu paling rentan di tengah pandemi Covid-19. Selain kehilangan pekerjaan dan minimnya akses bantuan, mereka juga rentan tertular virus corona.
Uang di dompet Sarta, seorang transgender berusia 52 tahun, hanya tersisa Rp5.000 saja, sementara dia harus menafkahi dua anak asuh dan kerabat yang tinggal di rumahnya di kawasan pemukiman padat Kampung Duri, Jakarta Barat.
Sudah dua bulan terakhir perempuan transgender atau transpuan yang akrab disapa Mama Atha ini terpaksa menutup salon rias yang dia kelola di rumahnya. Pandemi Covid-19 membuat beberapa pemesanan jasa rias ditunda, bahkan dibatalkan.
Kebingungan, dia akhirnya menuangkan keluh kesahnya di status pesan instan WhatsApp, demi meringankan beban di kepalanya.
Baca Juga: Pasangan Transgender Punya Anak, Jadi yang Pertama di Inggris
"Aku sih nggak mengharap iba, cuma ada nggak sih yang pernah ngerasa punya duit cuma goceng? Pandemi ini memang berdampak buat kami semua," tutur Atha kepada BBC News Indonesia, Kamis (29/04).
Komunitas LGBT 'melawan' pernyataan wali kota Depok: 'Ini rumah kami, saya harus bertahan' Klinik transgender Dili: nasib LGBT di Timor Leste lebih baik dibanding di Indonesia? HRW: Tekanan kepada LGBT tingkatkan infeksi HIV
Atha tak sendirian, nasib serupa juga dialami oleh teman-teman trans puan lain yang tinggal di sekitar rumahnya, setidaknya ada sekitar 26 orang trans puan di kawasan Kampung Duri.
Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai perias di salon, pengamen atau nyebong, sebutan mereka bagi teman trans puan lain yang berprofesi sebagai pekerja seks.
Tergugah untuk membantu teman-teman sesama transpuan, dia menjadikan rumahnya sebagai dapur umum dan membagikan makanan siap saji bagi teman-teman transpuan lain.
Baca Juga: Lucinta Luna Transgender Pertama yang Ditahan di Sel Khusus Blok Wanita
Inisiatif itu dia lakukan setelah teman dari Queer Language Club dan Sanggar Seroja, sebuah komunitas yang menjadi ruang bagi kelompok minoritas gender untuk berkesenian, menawarinya sebagai juru masak untuk membantu teman-teman trans puan yang kehilangan mata pencaharian.
"Aku tergerak untuk membantu karena aku sendiri butuh bantuan dan aku nggak bisa bantu teman, ya udah lah aku jadi relawan," tuturnya.
Untuk menjalankan dapur umum, dia dibantu oleh anak asuh, kakak dan dua teman relawan lain.
"Aku masak setiap hari tuh 140 bungkus untuk makan siang dan malam untuk dibagi di wilayah Kampung Duri dan Kali Anyar," kata dia.
Alih-alih merias wajah, mengolah masakan menjadi aktivitas sehari-hari Atha selama beberapa pekan, sebelum pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta mulai 10 April silam.
Imbas dari PSBB, jam operasi pasar tempatnya mencari kebutuhan untuk dapur umum pun dibatasi. Demikian halnya dengan jumlah orang yang diperbolehkan berkumpul.
Akhirnya disepakati bantuan yang diberikan tak lagi berupa makanan siap saji, namun bahan kebutuhan pokok yang dibagikan setiap seminggu sekali.
"Dapur umum di tempatku beralih jadi tempat kumpul bantuan," ujarnya.
Meski dalam kondisi serba terhimpit, Atha mengaku mendapat hikmah tersendiri di tengah wabah virus corona. Sebab, meski jasa riasnya sepi pelanggan, namun dia mendapat sedikit rezeki dari mengelola dapur umum, meski jumlahnya pun tak banyak.
Sementara teman-teman transpuan lain yang mencari nafkah sebagai pengamen pada masa epidemi Covid-19 ini hanya mendapat pemasukan paling banter Rp50.000 per hari.
Rikky Muhammad Fajar, Ketua Sanggar Seroja yang mendampingi lebih dari 80 transpuan di Jakarta Barat mengungkapkan kelompok transgender kehilangan 70% pendapatannya selama pandemi.
"Mereka yang tadinya merias kehilangan pekerjaan sama sekali dan beberapa yang merias akhirnya mengalihkan profesi jadi pengamen. Pas pengamen sekarang juga sulit sekali, biasanya mereka dapat Rp100 ribu per hari, sekarang kehilangan 70% penghasilannya," jelas Rikky.
Pembatasan akses menyebabkan mayoritas transpuan tidak mendapatkan penghasilan sehingga tak mampu memenuhi kebutuhan dasar harian, termasuk makan.
Atas pertimbangan itulah Sangar Seroja menginisiasi membantu trans puan di Jakarta Barat, khususnya di Kampung Duri, Kali Anyar, dan Kerendeng Raya dengan membagikan makanan siap saji sejak akhir Maret silam.
'Hidup seperti orang yang mati perlahan-lahan'
Sementara, Yulianus Rettblaut, yang merupakan Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia dan mengelola rumah singgah bagi para transpuan lansia di Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat, mengungkapkan bahwa virus corona membuat kondisi mereka yang sebelumnya sudah terpuruk menjadi kian terpuruk.
Transpuan yang akrab disapa Mama Yuli ini menuturkan kehidupan transpuan lansia di tengah pandemi kian miris karena hilangnya mata pencaharian dan ruang gerak yang kian sempit. Apalagi, mereka berpotensi diusir dari rumah kontrakan jika tidak bisa membayar uang sewa.
"Jadi aku pikir sih semakin terpuruk banget. Bukan hanya terpuruk, tapi dobel terpuruk keadaan teman-teman," tutur Yuli.
"Hampir 80-90% tuh teman-teman merasa kehidupannya istilahnya mereka hidup seperti orang yang mati berlahan-lahan," imbuhnya.
Yuli menjelaskan, saat ini rumah singgah mendampingi sekitar 831 transpuan berusia sekitar 50-90 tahun. Akan tetapi, hanya 18 orang yang kini tinggal di rumah singgah, kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pengamen, tukang urut dan bekerja di salon.
Imbas dari pandemi Covid-19, Yuli terpaksa menutup salonnya yang berlokasi di Cilandak, Jakarta Selatan yang sudah beroperasi selama 20 tahun.
"Tidak ada aktivitas, kita juga buka salon kan enggak boleh kalau undang orang masuk, jadi memang ditegur langsung sama Satpol PP yang lewat kalau misalnya kita kumpul," ujarnya.
Virus corona: Transgender sulit mendapat terapi hormon hingga menderita tekanan mental, 'Siapa yang akan berjuang untuk kami agar bisa didengar?' Transgender yang mengganti nama dan menguji nama barunya di kedai kopi Pengaduan perempuan transgender ke Komnas Perempuan: 'Tinggal di kos sendiri pun diusir'
Bantuan yang didapat hanya bisa untuk bertahan hidup, namun jika pandemi ini berjalan lebih lama lagi, mau tak mau dia harus ancang-ancang angkat kaki dari kontrakan karena sudah tak sanggup membayar uang sewa.
"Teman-teman lain juga nggak bisa bayar karena mereka kostnya bulanan semua," tutur Yuli.
Mama Dona, seorang transpuan lansia yang kini usianya menginjak 70 tahun dan selama beberapa tahun terakhir tinggal di rumah singgah mengatakan dia hanya bisa pasrah di tengah pandemi.
"Kita sudah lansia, apa pun sudah sulit semuanya, nggak bisa berbuat apa-apa lagi, kita hanya pasrah," kata dia.
Rentan tertular Covid-19
Mayoritas dari transpuan yang tinggal di Jabodetabek, tinggal di pemukiman kumuh dan sempit sehingga meningkatkan kerentanan untuk tertular virus Covid-19.
Selain itu, faktor pekerjaan yang melibatkan interaksi yang tinggi terhadap orang juga memberikan dampak kerentanan.
Kekhawatiran akan risiko terpapar Covid-19 diakui oleh Atha yang tinggal di pemukiman padat penduduk di Kampung Duri, Jakarta Barat.
Apalagi, kebanyakan transpuan yang tinggal di kawasannya berprofesi sebagai pengamen yang mengharuskan mereka beinteraksi dengan banyak orang.
Keberadaan Satpol PP yang kian ketat menertibkan warga tak mengurungkan niat mereka untuk mencari nafkah demi sesuap nasi.
"Saya pun enggak bisa ngelarang karena kami kan dapat bantuan seminggu sekali, itu pun enggak besar, cuma buat jajan aja. Yang penting aku selalu ingetin, bawa hand sanitizer dan masker," kata dia.
Dia pun mengingatkan teman transpuan yang sebelumnya pandemi menjajakan diri, atau nyebong, untuk tak lagi melakukan pekerjannya tersebut.
Rikky Muhammad Fajar dari Sanggar Seroja menambahkan kelompok transpuan sangat berisiko tertular karena biasanya dalam satu rumah sewaan ditinggali oleh lebih dari delapan orang.
"Di satu rumah itu bisa ada 14 waria, jadi kalau satu kena, semuanya berisiko tinggi untuk tertular juga," ungkap Rikky.
"Dan bagi yang terinfeksi sulit mengakses kesehatan," ujarnya kemudian.
Akses bantuan sosial minim karena tak memiliki KTP
Selain sulit mengakses layanan kesehatan, kelompok transgender juga kesulitan mengakses bantuan dari pemerintah karena kebanyakan dari mereka tidak memiliki kartu identitas, seperti yang terjadi pada Mama Dona, seorang trans puan waria lansia yang kini tinggal di rumah singgah waria di Depok, Jawa Barat.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dia bertahan dari bantuan masyarakat yang diberikan ke rumah singgah. Sementara bantuan pemerintah jauh dari gapaian.
Dona mengaku tidak memiliki KTP sejak sekian lama. KTP dan kartu identitasnya yang lain hanyut ketika banjir menerjang rumah tinggalnya kala itu yang terletak di pinggir sungai.
Para orang suci transgender dalam prosesi Hindu di India Kasus Lucinta Luna: Pintu masuk 'diskresi hukum' terhadap kelompok transgender di Indonesia
Ketua Forum Waria Indonesia, Yuli mengatakan sekitar 50% -60% waria lansia tidak memiliki kartu identitas atau KTP yang menjadi prasyarat pemberian bansos pemerintah. Ini semakin menyulitkan akses bantuan kepada mereka.
"Jangankan mereka yang tidak memiliki kartu identitas, yang memiliki kartu identitas juga masih sulit untuk mengakses," kata dia.
"Dengan kondisi seperti ini, seperti apa yang harus kita lakukan? Meminta kepada siapa yang harus kita lakukan?," ujarnya kemudian.
Kanzha Vina dari Koalisi Crisis Response Mechanism (CRM) menjelaskan banyak transpuan tidak memiliki kartu identitas karena kebanyakan dari mereka memilih pergi dari rumah atau diusir dari keluarga menolak keberadaan mereka ketika usia mereka masih sangat muda.
"Ketika merantau kita nggak ada persiapan KTP dan lainnya. Syukur-syukur ada beberapa yang punya kesadaran untuk bikin itu. Tapi mereka yang terputus aksesnya dari keluarga, nggak punya kartu identitas yang menjadi legalitas mereka mendapatkan bantuan pemerintah setempat," kata dia.
Akan tetapi, Ketua Sanggar Seroja, Rikky Muhammad Fajar mengatakan tak semua pemerintah daerah mewajibkan penerima bantuan memiliki KTP, setidaknya penerima bantuan harus lah memiliki kartu domisili.
"Kita mendorong teman-teman mengakses data domisili. Data itu kemudian akan direkomendasikan oleh RT/RW ke kelurahan dan akan masuk ke Kementerian Sosial untuk data ulang," ujarnya.
"Tapi beberapa teman-teman, dari sekitar 24 yang ada di Kampung Duri, itu enam tidak punya KTP dan beberapa sulit untuk mengakses keterangan domisili karena mungkin mereka canggung," kata Rikky.
Diskriminasi dan stigma negatif
Lebih jauh, Rikky menjelaskan dengan kendala-kendala yang mereka hadapi, LGBT dikategorikan sebagai kelompok rentan selama pandemi virus corona. Apalagi, mereka selalu mendapat diskriminasi.
"Terutama teman-teman transgender yang jelas-jelas mereka dari kecil hak identitas mereka sulit diakui oleh negara," ujar Rikky.
Hal ini diakui oleh Mama Yuli yang berharap diperlakukan sama dengan warga negara lain, kendati penolakan dan stigma buruk masih tetap melekat.
"Kenapa kelompok kami dianggap kelompok yang membawa malapetaka atau tidak perlu diurus, karena kita juga bagian dari manusia," ujar Yuli.
"Kita bagian dari warga negara yang punya hak untuk diperhatikan sama dengan masyarakat yang lain," imbuhnya.
Sementara itu, kasus pembunuhan transpuan bernama Mira di Jakarta Utara pada awal April silam, membuat Atha mewanti-wanti teman-teman transpuan lain berhati-hati di tengah pandemi virus corona.
"Aku sering bilang pada saat pandemi ini kalian harus ingat orang-orang itu sedang susah, mudah terpancing emosi, cepat marah. Jadi mesti hati-hati karena situasi kaya gini cepat memicu emosi orang," ujar Atha.
Selain diskriminasi, Kanzha Vina dari Koalisi Crisis Response Mechanism (CRM) menambahkan, transpuan mengalami kesulitan mendapat akses pekerjaan dan pendidikan, sehingga pilihan lapangan kerja bagi mereka sangat minim.
"Karena pilihan pekerjaan tidak banyak, pekerjaan yang selama ini sangat lekat dengan transgender adalah pekerja seks, salon, pengamen dan jasa-jasa lainnya," ujar Vina.
Namun, adanya pembatasan-pembatasan akibat pandemi virus corona membuat kelompok transpuan sulit bertahan karena kebanyakan dari mereka adalah pekerja harian.
"Instruksinya tinggal di rumah, tapi kita sendiri terancam dikeluarkan dari tempat tinggal kita sendiri, sementara belum ada alternatif dari pemerintah untuk teman-teman kita," kata dia.
Hingga 21 April, Koalisi CRM telah memberikan akses bantuan kepada lebih dari 1.300 trans puan yang tersebar di beberapa daerah. Namun Vina memperkirakan jumlahnya akan terus bertambah.
Dona, transpuan yang tengah menjalani hidupnya di usia senja berharap pandemi virus corona segera berlalu agar kehidupan kembali normal.
"Saya hanya bisa berdoa hilang lah virus corona ini ke depannya, secepatnya kembali normal lagi. Bukan hanya kita waria aja, tapi seluruh umat Indonesia bisa kembali normal seperti dulu lagi beraktivitas dan berkarya lagi," cetusnya.