Apalagi, kebanyakan transpuan yang tinggal di kawasannya berprofesi sebagai pengamen yang mengharuskan mereka beinteraksi dengan banyak orang.
Keberadaan Satpol PP yang kian ketat menertibkan warga tak mengurungkan niat mereka untuk mencari nafkah demi sesuap nasi.
"Saya pun enggak bisa ngelarang karena kami kan dapat bantuan seminggu sekali, itu pun enggak besar, cuma buat jajan aja. Yang penting aku selalu ingetin, bawa hand sanitizer dan masker," kata dia.
Dia pun mengingatkan teman transpuan yang sebelumnya pandemi menjajakan diri, atau nyebong, untuk tak lagi melakukan pekerjannya tersebut.
Baca Juga: Pasangan Transgender Punya Anak, Jadi yang Pertama di Inggris
Rikky Muhammad Fajar dari Sanggar Seroja menambahkan kelompok transpuan sangat berisiko tertular karena biasanya dalam satu rumah sewaan ditinggali oleh lebih dari delapan orang.
"Di satu rumah itu bisa ada 14 waria, jadi kalau satu kena, semuanya berisiko tinggi untuk tertular juga," ungkap Rikky.
"Dan bagi yang terinfeksi sulit mengakses kesehatan," ujarnya kemudian.
Akses bantuan sosial minim karena tak memiliki KTP
Selain sulit mengakses layanan kesehatan, kelompok transgender juga kesulitan mengakses bantuan dari pemerintah karena kebanyakan dari mereka tidak memiliki kartu identitas, seperti yang terjadi pada Mama Dona, seorang trans puan waria lansia yang kini tinggal di rumah singgah waria di Depok, Jawa Barat.
Baca Juga: Lucinta Luna Transgender Pertama yang Ditahan di Sel Khusus Blok Wanita
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dia bertahan dari bantuan masyarakat yang diberikan ke rumah singgah. Sementara bantuan pemerintah jauh dari gapaian.