"Aku tergerak untuk membantu karena aku sendiri butuh bantuan dan aku nggak bisa bantu teman, ya udah lah aku jadi relawan," tuturnya.
Untuk menjalankan dapur umum, dia dibantu oleh anak asuh, kakak dan dua teman relawan lain.
"Aku masak setiap hari tuh 140 bungkus untuk makan siang dan malam untuk dibagi di wilayah Kampung Duri dan Kali Anyar," kata dia.
Alih-alih merias wajah, mengolah masakan menjadi aktivitas sehari-hari Atha selama beberapa pekan, sebelum pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta mulai 10 April silam.
Baca Juga: Pasangan Transgender Punya Anak, Jadi yang Pertama di Inggris
Imbas dari PSBB, jam operasi pasar tempatnya mencari kebutuhan untuk dapur umum pun dibatasi. Demikian halnya dengan jumlah orang yang diperbolehkan berkumpul.
Akhirnya disepakati bantuan yang diberikan tak lagi berupa makanan siap saji, namun bahan kebutuhan pokok yang dibagikan setiap seminggu sekali.
"Dapur umum di tempatku beralih jadi tempat kumpul bantuan," ujarnya.
Meski dalam kondisi serba terhimpit, Atha mengaku mendapat hikmah tersendiri di tengah wabah virus corona. Sebab, meski jasa riasnya sepi pelanggan, namun dia mendapat sedikit rezeki dari mengelola dapur umum, meski jumlahnya pun tak banyak.
Sementara teman-teman transpuan lain yang mencari nafkah sebagai pengamen pada masa epidemi Covid-19 ini hanya mendapat pemasukan paling banter Rp50.000 per hari.
Baca Juga: Lucinta Luna Transgender Pertama yang Ditahan di Sel Khusus Blok Wanita
Rikky Muhammad Fajar, Ketua Sanggar Seroja yang mendampingi lebih dari 80 transpuan di Jakarta Barat mengungkapkan kelompok transgender kehilangan 70% pendapatannya selama pandemi.