Pakaian yang dijualnya melalui Toko Kita, maupun yang beredar menggunakan mobil, adalah baju-baju dalam kondisi bagus dari pemilik pertama. Baju-baju itu yang tidak dipakai lagi karena bosan, salah memilih, atau sudah tidak bisa dipakai.
"Karena memang masih ada bandrolnya, masih baru sekali. Atau ada juga yang akhirnya mereka itu ketika ke pasar, ke mall, karena mereka melihat banyak sekali baju, salah memilih atau satu dua kali dipakai, sudah tidak mau lagi. Atau sudah tidak muat,” ungkapnya.
Hampir semua orang, kata Eva, dipastikan menumpuk pakaiannya yang tidak terpakai di lemari. Baju-baju itu akan lebih berharga bila dapat disumbangkan untuk orang yang membutuhkan.
Secara umum, industri mode menyumbang sekitar 10 persen dari total emisi karbon dunia dan 20 persen dari limbah air dunia. Industri pakaian dan tekstil juga merupakan pencemar terbesar kedua di dunia setelah minyak bumi. Menurut The Sustainable Fashion Forum, konsumsi pakaian diperkirakan meningkat sebesar 63 persen dari 62 juta menjadi 102 juta ton pada 2030.
Baca Juga: Selasa Pagi, Ratusan Kios Pakaian Bekas Ludes Terbakar di Tanjungbalai
Melalui gerakan ini, Eva juga mengajak masyarakat memikirkan keberadaan pakaian bekas yang tidak terpakai dan berpotensi menjadi sampah. Selama ini, masyarakat tidak memikirkan sampah tekstil yang dihasilkan dari pakaian bekas yang dibuang sembarangan.
“Juga untuk merespons adanya isu-isu lingkungan terkait sampah-sampah tekstil, agar pelan-pelan masyarakat juga teredukasi bagaimana sebenarnya dengan adanya sampah tekstil ini juga bisa berakibat buruk bagi lingkungan,” tutur Eva.