Untuk memutuskan apakah si pasien akan menjalani rawat inap atau tidak, menurut Debi, biasanya dilihat dari kesadaran pasien.
“Yang mengalami rawat inap biasanya pasien yang berusia tua, membutuhkan oksigen, dan tidak ada yang merawat. Untuk pasien yang tinggal di panti jompo biasanya ada yang merawat dan jika dilihat kondisinya sudah stabil maka bisa dipulangkan meski masih positif COVID-19,“ papar Debi yang telah berkarier sebagai dokter di Jerman sejak lima tahun silam.
Penanganan dilakukan tergantung gejala yang dialami pasien. Banyak pasien yang sudah membawa penyakit bawaan, bahkan harus diiinkubasi.
“Untuk gejala ringan, bisa istirahat di rumah, minum sup, dan vitamin, lalu sembuh sendiri,“ paparnya.
Baca Juga: Madonna Ngaku Punya Antibodi Corona, Tak Sabar Mau Keluar Rumah
Marintan Pakpahan menceritakan, di rumah sakit di mana ia merawat pasien, juga disediakan tenda.
“Jika ada yang diare, mencret, batuk, dokter dan suster ke tenda mengukur temperatur tubuhnya dan oksigen di dalam darah dan dokter juga memeriksa paru-parunya. Kita tanya juga apakah bisa pasien merawat diri sendiri di rumah. Namun kami tetap mencatat untuk keperluan statistik dan dilaporkan kepada pemerintah.“
Banyak operasi ditunda dan kurang tenaga medis
Saat ini di rumah sakit tempat Marintan bekerja, jumlah pasiennya sudah menurun.
“Sebelum pandemi, rumah sakit kami penuh. Kami kurang tenaga kerja dan sebagaimana diketahui masalah kurangnya tenaga medis ini sudah jadi masalah kronis.“
Baca Juga: Kisah Abdullah Faqih, Jadi Korban Wabah Virus Corona di Makam Wakil Allah
Bagi Marintan dan rekan-rekannya, pekerjaan yang dilakukan terasa lebih berat, karena setiap pasien harus diperlakukan khusus.