Kisah Marintan, Dokter Indonesia Jadi Garda Depan Lawan Corona di Jerman

Sabtu, 02 Mei 2020 | 07:10 WIB
Kisah Marintan, Dokter Indonesia Jadi Garda Depan Lawan Corona di Jerman
Marintan Pakpahan. (dok pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Marintan Pakpahan, perempuan asal Parapat, Sumatera Utara yang mengabdikan diri di Rumah Sakit Malteser, di Kota Bonn, Jerman. Marintan jadi dokter, garda melawan virus corona di Jerman.

Mulai dari ditolak tes corona, hingga bekerja tanpa istirahat, inilah kisah-kisah petugas medis Indonesia yang menjadi ‘penjaga gawang’ di rumah sakit-rumah sakit di Jerman.

“Saya tidak takut terkena virus corona, yang saya khawatirkan adalah jika saya membawa virus itu ke rumah, karena ibu mertua saya sudah tua. Belum lagi ada lansia pula di gedung kediaman saya,” tutur Marintan Pakpahan.

Marintan Pakpahan baru saja membuka pintu rumahnya, sepulang bekerja, dan langsung melayani wawancara dari Deutsche Welle tanpa mengeluh atau menunda janji interview, karena menurutnya penting membagikan informasi seputar virus COVID-19 yang kini telah menjadi pandemi di berbagai belahan dunia.

Baca Juga: Madonna Ngaku Punya Antibodi Corona, Tak Sabar Mau Keluar Rumah

“Bukan cuma mereka yang lanjut usia yang terpapar virus. Di rumah sakit tempat saya bekerja juga ada anak-anak muda yang terkena virus corona. Keluhan yang sering mereka sampaikan adalah nyeri di dada, selain gejala-gejala khas COVID-19 lainnya,” ujar Marintan Pakpahan kepada DW sambil mengusap peluh di wajanya. 

Gejala-gelaja umum yang ia maksud adalah sesak nafas, sakit kepala, nyeri sendi, demam, dan batuk. Gejala-gejala seperti ini pula yang ditangani Dokter Debi Frina Simanjuntak. Ia bekerja di sebuah rumah sakit di Kota Olpe, Jerman.

“Pasien yang datang dengan gejala batuk dan demam akan diseleksi di Unit Gawat Darurat (UGD),” jelas Debi.

“Jika pasien yang kami cek memenuhi kriteria, dimasukan ke rawat inap -- atau stasiun intensif jika si pasien mengalami gagal nafas. Salah satu kriterianya adalah tingkat kesadaran pasien, urea di dalam darah, frekuensi nafas per menit, tekanan darahnya dan usia di atas 65 tahun. Jika hasil tes darahnya di laboratorium memburuk, maka akan dimasukan ke ruang intensif,” tambahnya.

Debi Frina Simanjuntak menjelaskan, pasien diperiksa lagi dengan seksama apakah ada bakteri lain di tubuhnya yang membutuhkan antibiotika. 

Baca Juga: Kisah Abdullah Faqih, Jadi Korban Wabah Virus Corona di Makam Wakil Allah

“Paru-paru pasien juga dicek dengan alat rontgen dan menjalani tes swab polymerase chain reaction (PCR) dengan diambil lendir dari tenggorokan paling dalam.“

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI