PSBB di Kawasan Padat Jakarta: Jaga Jarak Susah, di Rumah Pengap dan Gerah

Rabu, 29 April 2020 | 06:05 WIB
PSBB di Kawasan Padat Jakarta: Jaga Jarak Susah, di Rumah Pengap dan Gerah
Suasana aktivitas warga di salah satu kawasan padat penduduk di Jakarta saat pemberlakuan PSBB di tengah pandemi corona. [BBC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Anjuran jaga jarak fisik yang terus digalakkan oleh pemerintah Indonesia sulit dilakukan oleh warga yang tinggal di kawasan padat penduduk, salah satunya di Kelurahan Kali Anyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, salah satu kawasan dengan kepadatan penduduk tertinggi di Asia Tenggara.

Pengamat menilai pandemi virus corona semakin memperlihatkan ketimpangan ekonomi antara warga kaya dan miskin.

Di Kali Anyar, satu rumah bisa dihuni oleh sejumlah keluarga. Setiawati, misalnya, hidup dengan enam keluarga lainnya di rumah tingkat dua yang berukuran 6x12 meter. Total, rumah ini dihuni oleh 23 orang.

Secara keseluruhan, jumlah penduduk di kampung ini mencapai 30.000 jiwa. Tata letak rumah-rumah yang sangat padat dan sempitnya jalanan membuat sinar matahari seperti hilang di beberapa gang.

Baca Juga: Nasib Pedagang Keliling Saat PSBB, Bawa Pulang Rp 20 Ribu untuk Keluarganya

Menurut data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, per 16 April, sudah terdapat setidaknya 11 kasus positif virus corona di Tambora, sementara jumlah Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) sebanyak 21 orang.

"Pemerintah kan menyuruh kita jaga jarak, tapi kalau di sini jaga jarak susah. Jangankan sekeluarga, orang lain juga masih pada keluar, jaga jarak agak susah di sini," kata Setiawati, yang ditemui wartawan BBC Indonesia Silvano Hajid ketika sedang berkumpul bersama para tetangganya di suatu siang.

Ibu tiga anak tersebut mengatakan bahwa ia tidak tahan lama-lama berdiam diri di rumahnya karena "pengap dan gerah."

Ketika di luar rumah, ia pun nongkrong bersama dengan tetangga di samping pohon, kegiatan yang sebenarnya tidak dianjurkan oleh pemerintah di tengah pandemi virus corona.

Rumah Setiawati bertingkat dua, tiga keluarga di lantai dasar dan sisanya di lantai atas. Kamar masing-masing disekat dengan tripleks dan tirai seadanya.

Baca Juga: Waria Jakarta Tak Dapat Bantuan PSBB, Enggan Protes karena Takut Dicibir

Mengingat keterbatasan tempat, anak-anak yang beranjak remaja tidur di ruang depan. Kipas angin ada di beberapa kamar tetapi tidak bisa menyejukkan ruangan karena ventilasi yang ada hanyalah satu jendela, pintu depan rumah dan pintu belakang rumah.

"Kalau kami di sini, karena ruangan kami cuma segini, tidak seperti orang kaya, lebih luas rumahnya atau bertingkat, jadi kita ya gimana ya... di dalam andaikan jenuh, ya keluar, kan gak mungkin kalau di dalam terus."

"Keluar masuk, keluar masuk saja, gak betah di dalam lama-lama pengap, gerah. Begitu juga dengan yang lain, ya keluar masuk begitu saja," kata Setiawati.

"AC mah nggak ada, kipas angin ada, cuma kan di dalam juga tidak betah."

Susahnya 'physical distancing'

Meskipun aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah diberlakukan di Jakarta, penerapan physical distancing di Kali Anyar diakui oleh ketua RW setempat, Agus Sukardi, sulit dilakukan, karena tata ruang kampung yang sangat padat.

Oleh karenanya, warga pun mengakali dengan keluar rumah secara bergantian, kata Agus.

"Kondisi di wilayah saya, di Kali Anyar pada umumnya memang satu rumah itu kadang kala ditinggali dua atau tiga KK, bahkan bisa lebih."

"Untuk penerapan physical atau social distancing itu agak sulit ya, kecuali malam, malam itu pun dipaksakan. Sehari-harinya mereka kadang bergantian, ada yang di luar ada yang di dalam," kata Agus.

Menurut Amalinda Savirani, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), kebijakan social distancing yang telah diumumkan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus corona hanya ideal bagi keluarga yang terdiri dari anggota inti, yaitu ayah, ibu, dan anak-anaknya.

"Kebijakan tentang social distancing ini hanya memungkinkan dilakukan di kelompok masyarakat tertentu dan atau sektor tertentu. Pengandaian kebijakan itu, misalnya adanya konsep nuclear family yang terdiri dari orang tua dan anak-anak, sementara itu tidak bisa ditemukan di kelompok masyarakat, apalagi di kota."

"Warga miskin kota, yang satu rumah itu terdiri dari beberapa KK. Akibatnya rumah itu sangat padat dan dia di dalam rumah semuanya. Jika ada satu [orang positif virus corona], atau carrier [virus corona] dari luar, itu akan menyulitkan sekali," kata Amalinda.

"Dari sisi kebijakan itu memungkinkan di kelompok keluarga yang sangat nuclear, yang satu rumah terdiri dari satu keluarga, orang tua dan anak-anaknya, sementara di warga miskin itu susah dilakukan."

Sebelum diberlakukan, pemerintah sebaiknya berkonsultasi soal imbauan dan aturan untuk mengurangi penyebaran penyakit Covid-19 di daerah padat penduduk dengan warga setempat yang tahu apa kebutuhan dan solusi yang sesuai bagi wilayahnya.

"Banyak aturan, seperti social distancing, dan imbauan yang dikeluarkan oleh pemerintah sulit terlaksana di beberapa tempat, sehingga pemerintah sebaiknya tidak hanya memakai satu pendekatan untuk diimplementasikan di semua wilayah," kata Annie Wilkinson, periset di Institute of Development Studies, sebuah organisasi riset masalah pembangunan dari Inggris.

"Untuk wilayah padat penduduk, pemerintah sebaiknya memakai pengetahuan warga yang tinggal di sana untuk mempelajari bagaimana mereka memakai wilayahnya, apa kebutuhan dasar yang dibutuhkan, kelompok warga mana saja yang rentan."

"Mungkin solusi yang dicapai tidak sempurna, dan tidak seperti di negara lain, tapi hal itu masih berguna untuk mengurangi kontak antarwarga."

Menurut pengamat sosial, pandemi virus corona ini semakin memperlihatkan ketimpangan ekonomi antara warga kaya dan warga miskin, tidak hanya di Jakarta, namun juga di berbagai kota di dunia.

"Support system harus diberikan juga [di tengah PSBB], misalnya ketersediaan air bersih untuk cuci tangan, lalu dukungan bagi kelompok informal yang [ekonominya] akan terhajar habis dengan kebijakan tinggal di rumah, artinya biaya hidup mereka sehari-hari harus di back-up dan diganti oleh pemerintah," kata Amalinda.

"Ada persyaratan-persyaratan untuk social distancing. Selain berada di rumah, berarti [mereka] tidak kerja, artinya [pendapatan mereka] harus diganti, lalu soal akses sanitasinya, perlu dipikirkan bagaimana akses tersebut memasuki warga atau kampung-kampung di Jakarta. Kalau tidak, itu cuma policy yang tidak terlalu menyelesaikan [masalah]."

Menanggapi hal ini, Menteri Sosial Juliari Batubara, mengakui bahwa tidak semua orang bisa menerapkan social distancing dengan disiplin, terutama di tempat padat penduduk seperti di Tambora.

"Memang itu sulit ya, yang bisa dilakukan mereka menggunakan masker semua karena mereka tinggal di situ, tidak mungkin kita pisahkan keluarganya. Social distancing tidak mungkin 100 persen bisa diterapkan secara disiplin, ada satu rumah yang terdiri dari beberapa keluarga."

"Yang pemerintah bisa imbau adalah keluarga-keluarga itu memakai proteksi seperti masker dan menjaga kesehatan diri masing-masing," kata Juliari.

Nongkrong karena menganggur

Selain karena rumah yang sempit dan pengap, alasan lain mengapa masyarakat kampung Tambora masih bercengkrama dengan tetangganya adalah karena mereka kehilangan pekerjaan.

Contohnya adalah Tatiek, pekerja pabrik konveksi yang sekarang menganggur.

"Saya jarang nongkrong, ini lagi nganggur kan jadi duduk-duduk di sini, kalau sudah pegal ya masuk ke rumah," kata perempuan berusia 60 tahun ini.

"Ekonomi lagi sulit. Tidak ada bayaran kalau lagi menganggur begini. Lagi tutup tokonya semua, jadi tidak bisa dikirim barang [yang dibuatnya di pabrik konveksi]."

Hal yang sama juga dikeluhkan oleh Setiawati, yang sebelum wabah, mendapatkan uang dengan berdagang nasi. Suaminya bekerja sebagai tukang pasang antena atau parabola, dan pendapatan keduanya dirasa cukup untuk makan sehari-hari.

Namun setelah pandemi virus corona, Setiawati berhenti berdagang dan pemesanan jasa pemasangan antena berkurang drastis.

"Saya kan kecil-kecilan dagang nasi, ya cukuplah untuk menghidupi keluarga saya. Bapaknya juga kan sebelum ada [wabah virus] corona lumayan, ada pemasangan [antena atau parabola] walaupun tidak setiap hari ya, lumayan untuk makan kami sekeluarga," kata Setiawati.

"Tapi ketika adanya [wabah virus] corona ini pemasangan [antena] sepi, saya berdagang jadi berhenti. Makan sehari-hari seadanya saja. Sekarang [suami saya] cuma [dalam] seminggu kadang sekali masang [antena]. Mudah-mudahan bisa [bertahan], entah [uang] dari mana."

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah menganggarkan total Rp3,2 triliun untuk bantuan sosial kepada kurang lebih 4,2 juta warga miskin dan rentan miskin di Jabodetabek yang terdampak aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar, termasuk di Kelurahan Kali Anyar, yang dibagikan mulai dari tanggal 9-23 April. Bantuan yang diberikan berupa kebutuhan pangan, masker, dan sabun.

Agus, ketua RW di Kali Anyar, mengatakan warga di wilayahnya masih nongkrong karena rumah mereka terlalu kecil untuk ditinggali dengan nyaman dalam waktu yang lama.

"Kalau untuk di dalam rumah tidak mungkin ya, melihat rumah di Kali Anyar ini kan kecil-kecil, satu rumah seluas 10 meter ditempati bisa 10, bahkan lebih orang, jadi untuk penerapan physical distancing dengan jarak satu meter itu sepertinya sulit," kata Agus.

Menurut Amalinda, strategi warga yang keluar rumah secara bergantian di Kali Anyar berpotensi memperbesar kemungkinan berkumpulnya warga di satu tempat.

"Warga selalu punya taktik dan strategi untuk memastikan mereka semua sehat dan selamat termasuk [keluar rumah secara bergantian], tapi masalahnya, ketika di luar jalan pun gang padat."

"Kalau semua warga melakukan shift itu, pada akhirnya mereka tetap berkumpul, mereka bisa bertabrakan dengan orang lain, akhirnya tetap tradisi nongkrong yang terjadi, karena secara fisik tata kota di kampung itu sangat padat," kata Amalinda.

Menteri Sosial Juliari Batubara mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa mengawasi karantina wilayah yang diterapkan oleh masyarakat secara ketat karena jumlah polisi dan penegak hukum yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk.

"Berapa banyak polisi atau pihak-pihak yang mengawasi, pasti tidak mencukupi, pelanggaran pasti ada saja. Kita tidak bisa berharap polisi harus tegas, polisi berapa jumlahnya? Dibanding dengan ratusan juta penduduk jauh sekali. Maka kita berharap masyarakat harus disiplin."

"Kalau mereka merasa tidak akan kena [Covid-19] kan konyol, maka kita harus disiplin dan sama-sama melewati masa sulit begini supaya lebih cepat recovery-nya," kata Juliari.

Tidak semua bisa kerja dari rumah

Sebagian besar warga yang tinggal di kawasan padat penduduk seperti di Kali Anyar adalah pekerja informal seperti Setiawati dan Tatiek.

Menurut Cecilia Tacoli, periset di International Institute for Environment and Development yang bermarkas di London, kelompok demografi ini tidak bisa diacuhkan oleh negara-negara di dunia mengingat mereka akan menjadi kontributor utama pertumbuhan populasi dunia dalam 20 tahun ke depan.

"Ketika membuat kebijakan, banyak pemerintah yang tidak mempertimbangkan bahwa ada sekitar satu miliar penduduk wilayah kumuh di dunia ini, dan pertumbuhan populasi dunia dalam waktu 20 tahun ke depan sebagian besar akan didorong oleh warga miskin, di kota-kota miskin di dunia, yang tinggal di wilayah kumuh," kata Cecilia.

Menurut Cecilia, solusi jangka pendek bagi mereka yang harus tetap bekerja di tengah wabah virus corona adalah dengan memberikan mereka masker, alat perlindungan diri, dan fasilitas cuci tangan, terlebih bagi mereka yang pekerjaannya penting, seperti pengumpul sampah.

"Sebagian besar warga yang tinggal di wilayah kumuh atau wilayah informal hanya mendapat cukup uang untuk makan sehari-hari, jika mereka tidak bekerja maka mereka tidak bisa makan keesokan harinya. Ini perlu jadi bahan pertimbangan pembuat kebijakan," kata Cecilia.

"Di India, ketika warga disuruh berhenti bekerja, mereka harus berpindah lokasi dan hal itu menyulitkan semua orang."

Selain itu, pemerintah juga diimbau untuk menekankan pendekatan edukatif jika mendapati warga di kawasan padat penduduk yang melanggar aturan PSBB.

"Jangan kriminalisasi warga yang tidak bisa menaati aturan tersebut, penegak hukum harus mempertimbangkan bagaimana situasi rumah mereka, berapa banyak orang yang tinggal di rumah tersebut, jumlah kamar di rumah itu, bagaimana mereka mendapat air bersih," kata Annie.

"Jangan menyarankan sesuatu yang tidak mungkin mereka lakukan."

Menurut Juliari, pemerintah pusat tidak turun ke kawasan padat penduduk secara langsung, melainkan mendapatkan data dari pemerintah daerah tentang manfaat dan bantuan sosial yang dibutuhkan oleh warganya.

"Saat ini bukan waktunya lagi untuk survei, yang dibutuhkan adalah kecepatan. Pemerintah paham bahwa semua masyarakat merasa pemerintah kurang cepat, kurang tanggap, tapi harus diingat juga tidak ada pemerintahan di dunia ini yang siap menghadapi Covid-19."

"Jadi pendataan, kita berharap sangat-sangat dari daerah agar pemerintah pusat bisa konsentrasi mulai dari anggarannya, mekanismenya, administrasinya."

"Kami tidak melakukan hal yang sama. Kalau itu terjadi jadi kacau dan amburadul. Makanya kita tidak terlalu jauh ke daerah untuk mencari data, itu tanggung jawabnya pemerintah daerah masing-masing," kata Juliari.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI