"Kalau kami di sini, karena ruangan kami cuma segini, tidak seperti orang kaya, lebih luas rumahnya atau bertingkat, jadi kita ya gimana ya... di dalam andaikan jenuh, ya keluar, kan gak mungkin kalau di dalam terus."
"Keluar masuk, keluar masuk saja, gak betah di dalam lama-lama pengap, gerah. Begitu juga dengan yang lain, ya keluar masuk begitu saja," kata Setiawati.
"AC mah nggak ada, kipas angin ada, cuma kan di dalam juga tidak betah."
Susahnya 'physical distancing'
Baca Juga: Nasib Pedagang Keliling Saat PSBB, Bawa Pulang Rp 20 Ribu untuk Keluarganya
Meskipun aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah diberlakukan di Jakarta, penerapan physical distancing di Kali Anyar diakui oleh ketua RW setempat, Agus Sukardi, sulit dilakukan, karena tata ruang kampung yang sangat padat.
Oleh karenanya, warga pun mengakali dengan keluar rumah secara bergantian, kata Agus.
"Kondisi di wilayah saya, di Kali Anyar pada umumnya memang satu rumah itu kadang kala ditinggali dua atau tiga KK, bahkan bisa lebih."
"Untuk penerapan physical atau social distancing itu agak sulit ya, kecuali malam, malam itu pun dipaksakan. Sehari-harinya mereka kadang bergantian, ada yang di luar ada yang di dalam," kata Agus.
Menurut Amalinda Savirani, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), kebijakan social distancing yang telah diumumkan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus corona hanya ideal bagi keluarga yang terdiri dari anggota inti, yaitu ayah, ibu, dan anak-anaknya.
Baca Juga: Waria Jakarta Tak Dapat Bantuan PSBB, Enggan Protes karena Takut Dicibir
"Kebijakan tentang social distancing ini hanya memungkinkan dilakukan di kelompok masyarakat tertentu dan atau sektor tertentu. Pengandaian kebijakan itu, misalnya adanya konsep nuclear family yang terdiri dari orang tua dan anak-anak, sementara itu tidak bisa ditemukan di kelompok masyarakat, apalagi di kota."