Suara.com - Seorang petugas pemulasaran jenazah menceritakan pengalamannya mengurus jenazah positif Covid-19 atau yang meninggal dalam status Pasien Dalam Pengawasan (PDP).
Dia mengatakan berharap tak ada lagi korban yang meninggal dalam status PDP, melihat kesedihan yang dialami keluarga yang ditinggalkan.
"Perasaan saya kadang trenyuh. Bagaimana jika itu terjadi sama saya?" ujar Sahrul Ridha, 40, petugas Instalasi Pemulasaran Jenazah (IPJ) di RSPI Sulianti Saroso, salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta.
"Sejak dirawat hingga meninggal, nggak ada satu pun anggota keluarga yang bisa melihat pasien."
Baca Juga: Petugas Pemulasaran Jenazah Corona: Kami Kirim Foto Almarhum ke Keluarga
Sahrul, dan dua petugas pemulasaran jenazah lain, adalah orang terakhir yang dapat melihat dan mengurus pasien yang meninggal, baik dalam status positif Covid-19 maupun Pasien Dalam Pengawasan (PDP), yakni mereka yang bergejala Covid-19, tapi belum dites atau mendapat hasil tes swab PCR.
Sejak kasus Covid-19 diumumkan pemerintah di bulan Maret, Sahrul setidaknya sudah mengurus 30 jenazah, dengan puncaknya di bulan Maret, di mana ia pernah mengurus empat jenazah dalam sehari.
Menurut data pemerintah Provinsi Jakarta, hingga 20 April 2020, lebih dari 1.200 orang sudah dimakamkan dengan protap Covid-19.
Dari jumlah itu, 331 orang meninggal dalam status positif Covid-19, sisanya belum diketahui apakah positif atau negatif (PDP).
'Kekurangan cairan, oksigen, keringat bercucuran'
Baca Juga: CEK FAKTA: Benarkah Sejumlah Negara Buang Jenazah Pasien Corona ke Laut?
Sahrul bercerita tugasnya dimulai saat seorang pasien dinyatakan meninggal.
Dengan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap, Sahrul harus berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan pemulasaran jenazah dalam empat jam, sebagaimana ditetapkan Kementerian Kesehatan.
Hal pertama yang dilakukannya adalah memindahkan jenazah ke ruang pemulasaran untuk dimandikan atau jika tidak memungkinkan, sekadar dicipratkan air (tayamum).
"Prosesnya memang makan waktu. Kami harus betul-betul teliti, betul-betul sebersih mungkin. Jangan sampai ketinggalan ini-itu, desinfektan kurang atau apa," ujar Sahrul.
"Kami mengenakan masker N95, masker bedah, dalam waktu dua sampai tiga jam. Kami kekurangan cairan, oksigen, keringat semua bercucuran karena pakai apron panas sekali. Kami harus tahan itu sampai selesai. Kami harus kuat," ujarnya.
Salah satu tantangan dalam pekerjaannya, kata Sahrul, adalah saat mengangkat jenazah. Petugas harus mengangkat jenazah saat membersihkan, memindahkan ke kantong jenazah, juga saat memasukkan dalam peti.
"Karena memang kami tidak punya fasilitas yang betul-betul memudahkan untuk memindahkan... Beberapa jenazah meninggal, rata-rata berbobot di atas 70-80 kilogram. Itu yang membuat kami kadang kerepotan," kata Sahrul.
Memuliakan jenazah
Sahrul mengatakan awalnya ia bingung saat harus mengurus jenazah dengan Covid-19 atau mereka yang masih suspek.
Dalam keadaan normal, keluarga orang yang meninggal, bisa ikut memandikan jenazah juga mendoakan.
Sementara, saat pandemi ini, hanya Sahrul dan petugas pemulasaran lain yang boleh berada dalam satu ruangan dengan jenazah itu.
Maka itu, ketika mendapat jenazah yang diketahuinya beragama Muslim, yang sesuai agamanya, Sahrul memutuskan mensalatkan jenazah itu.
"Sebelumnya saya tidak pernah ikut mensalatkan jenazah. Namun (dalam pandemi ini), perasaan saya, ini (mensalatkan) adalah kewajiban saya sebagai Muslim," ujar Sahrul.
"Jenazah itu memang bisa membahayakan kita dari segi kesehatan. Tapi satu kewajiban kita untuk memuliakan mereka… Tak usah disuruh, saya pasti salatkan jenazah."
"(Saya berdoa) Mudah-mudahan mereka diterima di sisi-Mu dan diampuni dosanya. Juga keluarga diberi ketabahan dan berkah. Saya katakan itu saat mengurus jenazah-jenazah."
Ia menceritakan, sejumlah keluarga sempat memohon kepadanya untuk bisa ikut menyaksikan pengurusan jenazah, namun harus ditolaknya.
"Berat tentu. Kita harus merasakan, bagaimana kalau keluarga saya yang seperti itu? Tapi sudah jadi tugas saya, bagaimana pun caranya harus menolak. Itu bukan hanya demi keselamatan kami, tapi juga keluarga yang ada," ujarnya.
Sebagai bentuk penghiburan pada keluarga, Sahrul merekam seluruh prosesi pemulasaran jenazah untuk menjadi dokumentasi keluarga.
"Walau sudah jadi jenazah, mereka (keluarga) bisa lihat saat terakhir (pasien)," kata Sahrul.
Sahrul menceritakan sejumlah jenazah yang dia tangani masih berstatus PDP. Ia berharap hasil tes diketahui lebih cepat hingga tidak ada yang meninggal sebelum hasil tes keluar.
"Kalau memang pasien positif, katakan positif. Kalau negatif, katakan negatif," ujarnya.
"Kasihan mereka yang nggak memiliki riwayat terpapar, tiba-tiba anggota keluarganya, sampai meninggalnya tidak ada hasil (dan diperlakukan sebagai pasien Covid-19)."
Jika hasil tes diketahui lebih cepat, ujar Sahrul, ia tidak perlu terlalu khawatir dalam mengurus jenazah. Keluarga orang yang meninggal juga dapat ikut mengurus jenazah.
Rencana buka kuburan
Hal serupa dikatakan Imang Maulana, 42, petugas pemakaman khusus Covid-19, TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Ia mengatakan sejumlah keluarga protes pada tugas pemakaman karena anggota keluarganya yang diperlakukan seperti pasien Covid-19, meski hasil tes belum keluar.
"Banyak contohnya keluarga yang komplain, almarhum penyakit paru-paru, TBC, jantung, diposisikan sebagai positif Covid-19... Kami bilang itu bukan kepada kami (harusnya disampaikan), tapi pada rumah sakit dan dokter," ujar Imang.
"Kadang hasil tes belum keluar, tapi jenazah harus cepat dimakamkan (sesuai SOP)."
Bahkan, kata Imang, ada satu keluarga yang berencana memindahkan pemakaman anggota keluarga mereka tiga tahun mendatang, sesuai peraturan tempat pemakaman, karena hasil tes keluar setelah pemakaman dan menunjukkan hasil negatif.
Jika hasil tes akurat bisa didapatkan lebih cepat, Imang menambahkan, petugas tidak perlu menghadapi "membludaknya" jumlah orang yang harus dimakamkan.
Pada tanggal 22 April, misalnya, Imang bercerita ia memakamkan sebanyak 24 orang dengan protap Covid-19, dalam satu hari.
Di awal hingga pertengahan April, jumlah yang dimakamkan sempat turun hingga ke 13 orang, ujarnya.
Dengan APD lengkap, Imang mengatakan, waktu para petugas beristirahat hanyalah di sela-sela menunggu kedatangan ambulans.
Ia kadang bekerja lebih dari 12 jam sehari, bahkan hingga pukul 21.00 malam, tak peduli panas terik atau hujan.
"Selain tugas dan tanggung jawab, saya rasa ini adalah tugas mulia," ujarnya.
"Karena kami sedekah mungkin belum mampu karena keterbatasan ekonomi, ibadah masih asal-asalan, maka kami harap dengan tugas kami yang penuh risiko ini, mudah-mudahan ini jadi ladang ibadah kami."
'Harusnya tak ada lagi PDP'
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengatakan jenazah PDP tidak akan pernah dicatat sebagai kasus meninggal akibat COVID-19.
Namun, ia mengatakan jenazah itu harus diperlakukan layaknya positif Covid-19.
"Hal ini penting semata-mata dalam rangka melindungi petugas pemulasaran jenazah, melindungi keluarga dan melindungi petugas pemakaman. Pemahaman ini perlu kita bangun bersama agar transparansi data bisa terwujud," ujarnya.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan sejumlah pengamat kesehatan masyarakat sebelumnya mendesak pemerintah untuk membuka data orang yang meninggal dalam status PDP untuk transparansi.
Meski begitu, menurut Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Slamet Budiarto, status sebagai PDP maupun Orang Dalam Pengawasan (ODP), semestinya tidak lagi ada jika tes PCR bisa dilakukan secara cepat.
Dengan begitu, katanya, tak ada lagi mereka yang meninggal dalam tanda tanya, apakah mereka positif Covid-19 atau tidak.
"Kasihan juga pasien, yang misalnya bukan meninggal akibat Covid-19 diperlakukan sebagai pasien positif karena ketidakpastian (lamanya) hasil swab," ujar Slamet.
Ia mengatakan, umumnya proses pengujian hasil swab PCR bisa memakan hingga sepuluh hari, sehingga ada pasien yang meninggal sebelum hasil tesnya keluar.
Slamet menyarankan pemerintah untuk menggandeng rumah sakit swasta untuk bersama-sama melakukan PCR.
"Jalan keluarnya tes swab dua hari selesai. Sehingga pasien PDP meninggal tidak ada lagi. Yang ada meninggal negatif atau meninggal positif."
Pemerintah sendiri sudah mengklaim akan mempercepat proses pengetesan dengan pengadaan ribuan reagen --bahan yang dipakai dalam reaksi kimia, biasa dipakai untuk mengetes darah-- dari Korea Selatan.
"Tugas selanjutnya setelah kita mendapat reagen ini adalah mendistribusikan ke seluruh laboratorium yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan pemeriksaan, sehingga pengujian sampel secara masif bisa kita lakukan," ujar Yurianto.
"Sehingga pasien dalam pengawasan yang saat ini dirawat di berbagai rumah sakit bisa segera kita periksa, termasuk pasien konfirmasi positif yang sedang dirawat bisa segera kita ikuti perkembangan laboratoriumnya."