Suara.com - Seorang waria pekerja seks, juga jadi korban wabah virus corona. Dia tak bisa dapat pelanggan karena ekonomi makin susah.
Tari membagi kisahnya. Di balik pintu kost kawasan Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Pusat, Tari terus menunggu kapan ujung dari pandemi ini.
Di tempat yang sama juga, Tari dengan harap-harap cemas menatap layar ponsel pintar miliknya. Berharap ada panggilan "sayang" dari pria yang ingin menemuinya untuk melepaskan hasrat seksual.
Di tengah penantiannya, Tari terap rutin merawat dan membersihkan diri. Ia tak ingin malu apalagi membuat kecewa si dia yang terus ia tunggu jika sewaktu-waktu datang.
Baca Juga: Nasib Waria di Tengah Pandemi, Antara Kebutuhan Perut dan Diskriminasi
"Ya nggak harus dandan pakai bulu mata kayak biasanya dong. Pakai hand body, bedakan dikit, ya nggak apa-apa dong. Kalau nanti ada pelanggan gak siap gimana?" kata Tari dengan nada sumringah saat dihubungi suara.com, Senin (27/4/2020).
Begitulah keseharian Tari, seorang transgender perempuan (transpuan) atau yang biasa dikenal waria. Meski lama menanti, punggung lelaki yang pergi setelah membayar pada sekitar 15 Maret 2020 merupakan pelanggan terakhirnya, sebelum virus corona merebak.
Kehidupan Tari sebagai waria Pekerja Seks Komersial (PSK) nampaknya dipersulit wabah yang bermula dari China ini. Sampai sekarang, penantiannya atas seorang pelanggan tak kunjung usai.
Akibatnya, Tari terpaksa menyambung hidup bergantung dari tabungan yang ia kumpulkan sejak pertama kali berprofesi sebagai penjaja seks 15 tahun lalu. Tari yang kini telah berusia 35 tahun ini telah menghabiskan hampir seluruh tabungannya untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
"Aduh sedih deh, sekarang paling sisa 80 persen dari tabungan. Habisnya gimana masa nggak makan," kata Tari.
Baca Juga: Perangi Corona, Waria Kulon Progo Bagikan Masker Gratis ke Pengguna Jalan
Dalam beberapa kesempatan, kata Tari, memang terkadang ada calon pelanggan yang menghubunginya meminta jasa Tari. Namun kesepakatan tak tercapai karena maraknya larangan keluar selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Keduanya tak bisa bersepakat untuk "bermain" di tempat kost atau di tempat lain. Jalan-jalan ditutup, akses transportasi sulit, membuat Tari harus merelakan uang yang seharusnya bisa didapat.
"Ada yang gimana kalau ketemu di luar, tapi aku takut, takut ada razia, sama-sama takut. Kan kalau di kost-an ini kan udah gak boleh ada yang masuk orang luar," tutur Tari.
Ia juga sudah lama tidak mencari pelanggan dengan cara mangkal atau menunggu di pinggiran jalan. Tari lebih memilih mencari pelanggan dengan jaringan media sosial daring atau online.
Meskipun ada pilihan untuk mangkal, ia juga tak melakukannya karena alasan keselamatan. Tari juga meyakini cara online lebih mudah menggaet pelanggan dan lebih aman.
Karena itu, sekarang Tari terjebak dalam situasi yang membuatnya tak bisa mencari nafkah. Tabungannya juga semakin menipis hari demi hari.
"Aduh gak bisa ngomong deh, tapi kalau untuk benar-benar mau tau ya sama sekali nggak ada pemasukan, nol, sama sekali nggak ada," jelas Tari.
Namun, kebutuhan Tari sejauh ini masih bisa tercukupi berkat bantuan dari Queer Language Club (QLC) dan Sanggar Tari Seroja. Tiap pekan ia rutin menerima bantuan sembako dan uang Rp 50 ribu.
Selain itu, ia juga mengaku bersyukur bersama teman-teman waria lainnya yang tinggal satu atap kost bersamanya. Mereka disebutnya saling membantu membagi makanan jika ads rezeki.
"Makanya beruntung sekali dari QLC dari Sanggar Seroja ini dapat bantuan ini lumayan buat menyambung hidup," pungkasnya.