Keduanya tak bisa bersepakat untuk "bermain" di tempat kost atau di tempat lain. Jalan-jalan ditutup, akses transportasi sulit, membuat Tari harus merelakan uang yang seharusnya bisa didapat.
"Ada yang gimana kalau ketemu di luar, tapi aku takut, takut ada razia, sama-sama takut. Kan kalau di kost-an ini kan udah gak boleh ada yang masuk orang luar," tutur Tari.
Ia juga sudah lama tidak mencari pelanggan dengan cara mangkal atau menunggu di pinggiran jalan. Tari lebih memilih mencari pelanggan dengan jaringan media sosial daring atau online.
Meskipun ada pilihan untuk mangkal, ia juga tak melakukannya karena alasan keselamatan. Tari juga meyakini cara online lebih mudah menggaet pelanggan dan lebih aman.
Baca Juga: Nasib Waria di Tengah Pandemi, Antara Kebutuhan Perut dan Diskriminasi
Karena itu, sekarang Tari terjebak dalam situasi yang membuatnya tak bisa mencari nafkah. Tabungannya juga semakin menipis hari demi hari.
"Aduh gak bisa ngomong deh, tapi kalau untuk benar-benar mau tau ya sama sekali nggak ada pemasukan, nol, sama sekali nggak ada," jelas Tari.
Namun, kebutuhan Tari sejauh ini masih bisa tercukupi berkat bantuan dari Queer Language Club (QLC) dan Sanggar Tari Seroja. Tiap pekan ia rutin menerima bantuan sembako dan uang Rp 50 ribu.
Selain itu, ia juga mengaku bersyukur bersama teman-teman waria lainnya yang tinggal satu atap kost bersamanya. Mereka disebutnya saling membantu membagi makanan jika ads rezeki.
"Makanya beruntung sekali dari QLC dari Sanggar Seroja ini dapat bantuan ini lumayan buat menyambung hidup," pungkasnya.
Baca Juga: Perangi Corona, Waria Kulon Progo Bagikan Masker Gratis ke Pengguna Jalan