Suara.com - Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Sarman Simanjorang mempertanyakan pemerintah ihwal penamaan rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja.
Lantaran penggunaan diksi 'Cipta Kerja', seolah-olah RUU yang merupakan Omnibus Law tersebut terkesan bersinggungan erat dengan masalah pekerjaan. Sehingga dampaknya menuai kontra dari serikat pekerja yang menolak kehadiran RUU Cipta Kerja.
Padahal, lanjut Sarman, aturan mengenai tenaga kerja sudah dimuat dalam satu dari 11 klaster dengan nama klaster ketenagakerjaan.
"Memang dalam praktiknya, kita lihat bahwa RUU ini terbangun di publik seolah bicara RUU Cipta Kerja artinya bicara nasib buruh. Padahal ini ada 11 klaster, hanya 1 di antara 11," ujar Sarman dalam rapat dengar pendapat umum virtual dengan Badan Legislasi DPR pada Senin (27/4/2020).
Baca Juga: Pengangguran akan Bertambah, Ekonom Ini Sebut RUU Cipta Kerja Diperlukan
"Apakah sejak awal pemerintah tidak memikirkan nama ini? Sehingga buruh sangat gencar menolak RUU ini dan terbangun di masyrakat bahwa ketika bicara RUU ini bicara nasib pekerja?" sambungnya.
Atas dasar itu pula, Sarman kemudian mengusulkan kepada DPR untuk mengganti penamaan RUU Cipta Kerja menjadi RUU Kemudahan Berusaha dan Investasi. Usulan pengubahan nama itu dilakukan demi mengalihkan kesan dari serikat pekerja yang sebelumnya kontra.
"Maka kami mengusulkan supaya nama RUU ini diganti saja agar menjadi RUU kemudahan berusaha dan investasi. Sehingga fokus tidak diributkan oleh teman-teman serikat pekerja dan terbangun opini bahwa RUU ini untuk kepentingan dunia usaha secara garis besar," katanya.