Suara.com - Penangkapan belasan warga dalam aksi pengibaran bendera Benang Raja di hari peringatan HUT Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April lalu oleh pihak kepolisian dinilai semakin mengekang hak untuk berkumpul dan berekspresi.
Direktur Amnestey Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, penangkapan karena pengibaran bendera adalah tindakan semena-mena dan pelanggaran HAM. Dia mengemukakan, setiap individu tanpa terkecuali berhak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai.
Hak tersebut, jelasnya, dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) dan Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR, di mana Indonesia adalah negara pihaknya.
"Kegiatan damai tersebut merupakan bagian dari hak untuk berkumpul dan berekspresi. Kami mendesak pembebasan segera dan tanpa syarat baik yang ditangkap maupun yang menyerahkan diri," kata Usman Hamid pada Senin (27/4/2020).
Baca Juga: Nekat Kibarkan Bendera Benang Raja di Polda Maluku, 3 Orang Ini Ditangkap
Usman menyebut, pengibaran bendera Benang Raja memang kerap terjadi di beberapa desa di Maluku setiap tahunnya, namun sulit untuk menilai makna yang dipahami warga di setiap desanya.
"Bagi sebagian mungkin hanya berupa upacara atau bagian dari tradisi. Bagi sebagian lainnya, ini dianggap sebagai aksi protes politik kepada pemerintah pusat. Namun, sejauh dilakukan secara damai, negara wajib melindunginya," ucapnya.
Pengibaran bendera Benang Raja, lanjut Usman, mungkin juga merupakan cara simbolik dalam mengemukakan keluhan atas ketidakseriusan pemerintah pusat dalam melayani kebutuhan ekonomi dan sosial di wilayah yang terisolasi itu.
Namun, meski berskala kecil, negara kerap menilai ekspresi itu sebagai gerakan separatisme dengan menerapkan pasal-pasal makar.
"Ini keliru dan telah ditinggalkan pada era Pemerintahan Habibie dan Gus Dur. Ini waktunya Pemerintah dan DPR menghapus atau mengubah peraturan terkait makar yang kerap berujung pada pelanggaran HAM."
Baca Juga: Amnesty Nilai Telegram Kapolri saat Corona Berlawanan Keputusan Menkumham
Amnesty sudah berkomunikasi dengan pihak Polda Maluku agar polisi tidak melakukan intimidasi selama ditahan, namun tetap mereka minta semuanya dibebaskan tanpa syarat mengingat sekarang kondisi tengah dilanda pandemi Virus Corona yang seharusnya tidak menambah tahanan baru di penjara.
Sebelumnya, hingga 25 April lalu, polisi menahan 13 warga sipil yang merupakan aktivis gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) karena aksi damai mengibarkan bendera Benang Raja, simbol kemerdekaan RMS untuk memperingati hari ulang tahun gerakan RMS.
Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol M Roem Ohoirat mengatakan ada tiga petinggi RMS yang turut diamankan yakni Juru Bicara RMS Simon Viktor Taihittu (56), Wakil Ketua Perwakilan Tanah Air RMS Abner Litamahuputty alias Apet (44), dan Sekretaris Perwakilan Tanah Air RMS Johanis Pattiasina (52).
Roem mengatakan, kehadiran mereka mulanya dalam rangka memenuhi panggilan Ditreskrimum Polda Maluku berkaitan dengan kasus pembuatan video ajakan untuk mengibarkan bendera RMS yang diunggah ke YouTube pada 18 April lalu.
"Mereka bertiga memasuki halaman Polda Maluku dengan membentangkan bendera RMS," kata Roem kepada wartawan, Minggu (26/4/2020).
Mereka mendatangi Polda Maluku seraya mengibarkan bendera Benang Raja dan mengaku sebagai pihak yang bertanggung jawab atas aksi pengibaran bendera di HUT RMS.
"Mereka menyerahkan diri dan menyatakan bertanggung jawab terhadap pengibaran bendera RMS yang dilakukan oleh simpatisan RMS saat HUT RMS tanggal 25 April 2020," ujar Roem.
Roem menyampaikan atas perbuatannya, ketiga petinggi RMS itupun dikenakan Pasal 160 KUHP dan pasal 110 tentang Makar. Selain itu mereka juga dikenakan Pasal 160 KUHP tentang Menghasut.