Suara.com - Penyebaran virus corona covid-19 di Jakarta memiliki dampak luas, khususnya dalam sektor ekonomi pada berbagai kalangan.
Tak luput juga terhadap kelompok transpuan yang tergolong minoritas di ibu kota.
Nurdiyansah atau akrab disapa Diyan dari Tim Gerakan #BantuanUntukWaria menjelaskan, situasi yang dialami kelompok transpuan begitu memprihatinkan.
Utuk diketahui, Gerakan Bantuan untuk Waria ini diinisiasi oleh Queer Language Club Jakarta dan Sanggar Teater Seroja.
Baca Juga: Perangi Corona, Waria Kulon Progo Bagikan Masker Gratis ke Pengguna Jalan
Kehilangan pekerjaan, sulit makan, hingga tak bisa bayar biaya sewa kontrakan, adalah situasi yang harus dihadapi kaum waria pada masa PSBB corona.
Bahkan, karena mereka merupakan kaum minoritas yang kerap mendapatkan perlakuan berbeda, bantuan pun sulit diperoleh.
Meski dirundung kesulitan saat pandemi, Diyan menyebut para waria justru kerap terlupakan.
Masyarakat dan pemberitaan lebih menyoroti nasib ojek online (Ojol) dan buruh pabrik atau pekerja harian yang lain.
"Kami kepikiran, soalnya dalam berita, paling terdampak itu ojol, buruh-buruh pabrik. Banyak yang tidak terpikir nasib kaum waria," kata Diyan saat dihubungi Suara.com, Minggu (26/4/2020).
Baca Juga: Berbagi Masker di Jalan, Waria Kulon Progo Nyanyikan Lagu Berjudul Corona
Diyan menjelaskan, awalnya ada seorang waria yang bercerita soal kesulitan pada masa pandemi corona.
Ia dan rekannya yang lain akhirnya memutuskan untuk ikut bergerak membantu waria tersebut.
QLC Jakarta akhirnya disebutnya mencoba melakukan penggalangan dana. Responsnya positif dan bisa menjaring sekitar 67 waria di kawasan Pasar Kampung Duri dan Kali Anyar, Jakarta Barat.
"Jadi galang dana selama tiga hari, kami pikir responsnya bagus. Kami perpanjang penggalangan dana. Direncanakan betul-betul, kami mendata, ternyata ada 65-an waria yang ada di Jakarta," jelasnya.
Dalam waktu satu bulan sejak 26 Maret, Diyan tak menyangka partisipasi masyarakat cukup tinggi.
Setelah mendapatkan bantuan dari individu hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM), ia sudah memperoleh Rp 80 juta.
"Itu untuk cash doang, belum termasuk sama ada yang menyumbang sembako, barang-barang lain," tuturnya.
Sebelum masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), bantuan disalurkan dengan cara mengirim bahan mentah kepada tiga waria yang tinggal di dua kawasan itu.
Mereka akan memasak dan menyalurkan makanan jadi kepada 67 waria di daerah itu.
"Setiap hari mereka dikirimkan nasi bungkus siang malam. Tapi kalau pagi kami kasih sarapan roti atau mi," katanya.
Sejak pemberlakuan PSBB, distribusi makanan tak mungkin lagi dilakukan setiap harinya.
Akhirnya bantuan dialihkan menjadi penyaluran sembako dan uang tunai Rp 50.000 selama dua kali dalam sepekan.
"Ada beras, biskuit, mi instan, ada gula, kadang ada sarden. Kadang ada yang nyumbang kirim barang. Jadi kalau misalkan ada yang kirim sarden kita tak kasih telur, sardennya kami tambahkan, kita belanja," ujar Diyan.
Para waria itu disebut Diyan memiliki pekerjaan seperti pengamen, penata rambut, hingga pekerja seks komersial (PSK).
Mereka, kata Diyan, tak berbeda dari pekerja harian lepas yang penghasilannya berkurang drastis karena pandemi ini.
"Rata-rata mereka pengamen, penata rambut atau penata rias di salon, dan pekerja seks. Kan sama saja dengan pekerja dengan pendapatan harian. Perut mereka juga harus diisi setiap hari."