Pengguna Data Aplikasi COVID-19 Secara Ilegal di Australia Bakal Dipidana

Syaiful Rachman Suara.Com
Jum'at, 24 April 2020 | 21:46 WIB
Pengguna Data Aplikasi COVID-19 Secara Ilegal di Australia Bakal Dipidana
Warga Australia menggunakan masker [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Otoritas di Australia akan memidanakan pegawai pemerintah di luar bidang kesehatan yang mengakses data masyarakat melalui aplikasi yang memetakan penyebaran COVID-19, kata Perdana Menteri Scott Morrison, Jumat (24/4/2020).

Pernyataan itu disampaikan Morrison demi menjamin privasi masyarakat terlindungi saat memakai aplikasi pelacak pasien positif COVID-19 di Australia.

Negara benua itu sejauh ini dapat menekan jumlah korban tewas akibat COVID. Otoritas setempat mencatat hanya 78 pasien positif COVID-19 yang meninggal dunia.

Pencapaian itu diyakini sebagai hasil aturan pembatasan yang ketat sehingga membuat sebagian kegiatan masyarakat terhenti.

Baca Juga: Detol: Abaikan Trump, Tolong Jangan Suntik Tubuh Pakai Disinfektan

Pemerintah federal mengatakan aturan jaga jarak akan tetap berlaku sampai pertengahan Mei. Aturan itu dapat diperlonggar bergantung dari tingkat partisipasi masyarakat mengunduh aplikasi gawai yang dapat melacak pergerakan pasien positif serta orang-orang yang ia temui.

Namun, banyak pihak khawatir terhadap masalah hukum dan privasi dari penggunaan aplikasi pada gawai itu. Pegiat perlindungan privasi menyebut data mengenai keberadaan warga yang diperoleh dari aplikasi berpotensi digunakan lembaga pemerintah lain yang tidak terkait penanggulangan COVID-19.

Morrison pun menjamin pihaknya akan memidanakan pegawai pemerintah non-kesehatan yang mengakses data pribadi masyarakat lewat aplikasi itu.

"Statusnya ilegal, apabila informasi dari sistem data itu digunakan pihak lain di luar mereka yang berkepentingan, karena aplikasi itu digunakan untuk mendukung para tenaga kesehatan memetakan mereka yang mungkin tertular virus," kata Morrison ke awak media di Canberra.

PM Australia juga membenarkan laporan media setempat yang menyebutkan data pribadi masyarakat akan disimpan dalam server yang dikelola AWS, sebuah unit usaha Amazon.com Inc, perusahaan informasi dan telekomunikasi besar asal Amerika Serikat.

Baca Juga: Dikabarkan Kritis, Kim Jong Un Terlihat Bugar di Kota Wonsan

Akan tetapi, ia menjelaskan "data itu telah terenskripsi saat disimpan".

Ancaman pidana dinilai dapat melindungi sekaligus membatasi akses terhadap data pribadi pengguna aplikasi. Sejauh ini, otoritas di Australia melaporkan 6.700 orang tertular COVID-19 dan 78 di antaranya meninggal dunia.

Morrison mengatakan aturan pembatasan yang telah diberlakukan selama berminggu-minggu, COVID-19 menyebar pada tahap komunitas. Artinya, otoritas kesehatan setempat dapat berharap penyebaran penyakit dapat ditekan melalui pemeriksaan dan pelacakan secara massal, bahkan ke orang-orang yang tidak menunjukkan gejala.

Sementara itu, pemerintah di negara bagian mendorong warganya untuk memeriksakan diri. Otoritas masing-masing wilayah menjelaskan kriteria yang sebelumnya dikenakan sebagai syarat pemeriksaan tidak lagi berlaku. Sebelumnya, mereka yang ingin diperiksa harus pernah kontak dengan pasien positif, punya riwayat perjalanan ke luar negeri, dan memiliki gejala sakit flu.

Sebuah kapal pesiar yang menyumbang sepertiga kasus kematian akibat COVID-19 di Australia telah kembali berlayar setelah bersandar selama sebulan di negara itu.

Kapal pesiar Ruby Princess milik Carnival Corp sempat jadi sasaran kemarahan publik setelah pengelola pada 19 Maret menurunkan ribuan penumpangnya di Sydney tanpa melalui pemeriksaan kesehatan. Akibatnya, ratusan penumpang kapal kemudian dinyatakan positif tertular virus. Jumlah itu mengisi porsi 10 persen dari keseluruhan kasus positif di Australia.

Aparat penegak hukum di Australia masih menyelidiki cara pengelola kapal menurunkan penumpang turun tanpa menjalani prosedur pemeriksaan kesehatan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI