Suara.com - Pengacara HAM Veronika Koman menuntut pemerintah Indonesia memasukkan 63 tahanan politik Papua dalam daftar narapidana yang dibebaskan, dalam program asimilasi dan integrasi akibat pandemi virus corona covid-19.
Veronika mengatakan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly seharusnya mengikuti rekomendasi PBB untuk memprioritaskan tahanan politik masuk dalam daftar napi yang dibebaskan demi pencegahan corona di penjara.
"Kalau Pak Yasonna kemarin bilang melepas napi berdasarkan rekomendasi PBB itu betul, tapi tidak lengkap. Yang lengkap, tahanan politik juga harus diprioritaskan," kata Veronica Koman dalam diskusi Pembebasan Tahanan Politik dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia di YouTube, Rabu (22/4/2020).
Selain itu, Vero menyebut rekomendasi lain PBB dalam pembebasan napi saat pandemi corona adalah, yang bersangkutan masih proses persidangan atau masih menunggu persidangan.
Baca Juga: Penanganan Corona, Veronica Koman: Anies-FX Rudyatmo Lebih Baik dari Jokowi
"Nah 56 kasus tapol itu antara masih sidang atau masih menunggu persidangan, jadi itu seharusnya dilepas," ucapnya.
Lebih lanjut, Vero bersama pengacara HAM Jennifer Robinson juga sudah mengirimkan desakan ke Gugus Kerja Penahanan Sewenang-wenang dan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta agar kasus 63 tapol Papua ini dibawa ke meja sidang PBB.
Dalam dokumen desakannya tersebut dijelaskan, 63 tapol kasus makar itu ditahan secara sewenang-wenang dan tidak sah di Indonesia.
Sebanyak 63 tapol kasus makar itu terdiri dari 56 orang asli Papua, 1 orang non-Papua Indonesia, 5 orang Maluku, dan 1 orang kewarganegaraan Polandia.
Tujuh di antaranya telah divonis dan sisanya masih ada yang menjalani proses persidangan serta menunggu untuk disidangkan.
Baca Juga: Setelah Veronica Koman, Giliran BEM UI Kasih Data Tapol Papua ke Mahfud
Perlu diingat kembali mayoritas 56 tapol tersebut ditangkap aparat keamanan ketika mengikuti demonstrasi mendukung Papua pada 2019.
Alasan penahanan pun beragam seperti karena membawa bendera Bintang Kejora maupun Benang Raja, atau ada juga yang dikarenakan berpartisipasi dalam aksi damai serta menjadi menjadi anggota dari organisasi yang mendukung hak atas penentuan nasib sendiri. Tetapi, tindakan di atas tersebut dilindungi hukum internasional.
"Kesemua 63 tapol tersebut dikenakan makar Pasal 106 dan/atau Pasal 110 KUHP, dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun," ujarnya.
Veronika menuturkan bahwa 56 nama tapol itu sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD ketika mengunjungi Australia pada Februari lalu.
Namun, hingga saat ini belum ada respon yang disampaikan kecuali respon Mahfud yang menyebutkan kalau dokumen tersebut hanyalah sampah.
Dengan begitu pihaknya mendesak PBB dan pemerintah Indonesia untuk menanggapi masalah tapol tersebut secara serius karena ada nyawa yang menjadi taruhannya.
Dalam desakannya tersebut meminta agara 63 tapol bisa dilepaskan sesegara mungkin dan tanpa syarat.
Hal tersebut dilakukan lantaran penjara di Indonesia yang overkapasitas rentan terhadap adanya penularan virus Corona (Covid-19). Di lain sisi, Komisioner Tinggi HAM PBB telah meminta supaya pembebasan tapol harus menjadi prioritas.
Indonesia, dengan angka kematian tertinggi di Asia, telah mengakui resiko penyebaran COVID-19 di penjara yang overkapasitas dengan telah dibebaskannya 30.000 tahanan.
Namun, ke-63 tapol ini, yang tidak menimbulkan ancaman bagi masyarakat, masih dipenjara.
Dalam kesempatan yang sama Jennifer Robinson juga mengatakan bahwa desakan itu dibuat karena adanya ancaman serius terhadap keselamatan jiwa tahanan.
"Yang ditahan di penjara yang overkapasitas di tengah pandemi di Indonesia. Kini penahanan mereka tidak hanya tidak sah tapi juga mengancam keselamatan jiwa. Semua 63 tapol tersebut harus segera dibebaskan tanpa syarat," ujar Jennifer.