Anarko Dituding Rencanakan Penjarahan, Eks Direktur LBH: Polisi Tidak Paham

Selasa, 21 April 2020 | 22:10 WIB
Anarko Dituding Rencanakan Penjarahan, Eks Direktur LBH: Polisi Tidak Paham
Mantan Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa. (Ummi Hadyah Saleh)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nanan Sudjana menyebut kelompok Anarko melakukan aksi vandalisme di tengah pandemi Covid-19 untuk menciptakan keresahan dengan tujuan memprovokasi masyarakat hingga merencanakan penjarahan di sejumlah wilayah di Pulau Jawa.

Hal tersebut menyusul ditangkapnya pelaku vandalisme bertuliskan pesan 'Sudah Krisis Saatnya Membakar' yang disebut polisi dilakukan kelompok Anarko di Tangerang Kota awal April lalu.

Bahkan, beberapa buku seperti; 'Aksi Massa' karya Tan Malaka, 'Coret-coret Di Toilet' karya Eka Kurniawan, 'Indonesia Dalam Krisis' karya Litbang Kompas, dan beberapa buku lainnya ditampilkan ke publik sebagai barang bukti.

Belakangan, tudingan aparat terhadap pelaku vandalisme yang disebut-sebut sebagai kelompok Anarko itu hendak merencanakan penjarahan pada 18 April pun nyatanya tak terjadi.

Baca Juga: Kapolda: Kelompok Anarko Rancang Penjarahan di Pulau Jawa 18 April

Merespon hal tersebut, mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa menilai tudingan tersebut menunjukkan ketidakpahaman aparat kepolisian terhadap paham Anarkisme. Di sisi lain, buku-buku yang ditampilkan ke depan publik, sejatinya tidak ada relevansinya dengan paham Anarkisme. Justru Alghif menganggap hal tersebut mempermalukan institusi Polri sendiri.

"Menurut saya ya, tindakan coretan di dinding itu ya pelanggaran ketertiban umum saja, melanggar perda saja. Jadi, kenapa harus sampai serius dipidanakan, di pers conference kan, ditebar buku-bukunya yang bukunya itu tidak relevan, ataupun jadi lucu sendiri gitu. Akhirnya, membuat malu polisi sendiri, menurut saya, ketika buka Eka Kurniawan, Tan Malaka, Tere Liye diindentikan dengan Anarkisme," kata Alghif dalam diskusi bertajuk 'Kenapa Selalu Anarko?' yang disiarkan secara langsung di Instagram KontraS, Selasa (21/4/2020) malam.

"Itu kelihatan bahwa polisi tidak paham soal Anarkisme itu apa. Tidak paham soal gerakan anarkis, pemikiran anarkis itu seperti apa," sambungnya.

Alghif juga menilai, hal yang semakin memperlakukan institusi Polri, yakni beredarnya video sosok pemuda bernama Pius yang ditangkap polisi dan mengaku sebagai ketua Anarko Sindikalis Indonesia. Meski belakangan diketahui, pemuda bertatto huruf 'A' di dada itu ternyata pelaku pencuri helm milik anggota polisi lalu lintas.

"Kalau orang yang tahu aspek politik dari Anarkisme, pasti akan ketawa. Kenapa? Contoh, misalnya ada katanya ketua Anarko, A1 sampai A4, ya itu bertentangan dengan nilai Anarkisme sendiri tidak ada hierarki tidak ada ketua. Nah, ini lagi-lagi membuat, mempermalukan diri sendiri aparatur penegak hukum," ujar Alghif.

Baca Juga: Kritik Kebijakan Pemerintah Lewat Coretan, Kelompok Anarko Kembali Dibekuk

Lebih lanjut, Alghif pun berpendapat sulit dipercaya jika para pelaku vandalisme yang mayoritas berusia 20 tahun itu disebut sebagai kelompok Anarko yang hendak merencanakan penjarahan di sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Karena menurut Alghif, hanya kelompok yang memiliki pengorganisasian, propaganda dan logistik yang kuat saja lah yang mampu melakukan hal semacam itu.

"Dan di Anarko kelompok-kelompok yang Anarko yang saat ini banyak bergerak di perpustakaan, bagi-bagi makanan, bertani, itu (rencana penjarahan) ya nggak mungkin itu dilakukan oleh Anarko," ungkap Alghif.

Lantaran itu, Alghif mempertanyakan, ada wacana apa di balik tudingan aparat kepolisian terhadap kelompok Anarko. Dia juga mengungkapkan adanya kemungkinan tudingan tersebut dilontarkan, lantaran adanya keterkaitan atas kegagalan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.

"Artinya dari awal kita tahu ini settingan apa, gitu. Jadi ini, apakah adanya kegagalan pemerintah terkait penanganan pandemi kemudian masyarakat kemudian bersolidaritas, gotong royong, kemudian negara jadi nggak relevan. Sehingga, dibuatlah relevansinya apa? Ya soal keamanan. Nanti kalau nggak ada negara, nggak ada polisi ya jadi rusuh," ujarnya.

"Itu juga kaitannya dengan kelompok-kelompok di Jogja yang didatangi intel, kemudian dibubarin rapatnya karena bagi-bagi makanan. Karena, ketika mereka bagi makanan, bagi sembako negara jadi nggak relevan, masyarakatnya bisa hadir tanpa negara gitu."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI