Suara.com - Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah diterapkan oleh sejumlah daerah sebagai upaya mengatasi penyebaran virus corona atau Covid-19.
Kebijakan tersebut dimulai terlebih dahulu oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di mana kasus positif Covid-19 di Ibu Kota yang jumlahnya paling tinggi.
Kepala Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Letjen Doni Monardo memaparkan efektivitas PSBB sepanjang kebijakan ini berjalan. Menurutnya, masih banyak hal yang belum optimal berjalan seperti masih berjalannya kegiatan perkantoran.
"Ada yang positif, namun masih ada yang belum optimal. Yang masih belum optimal ini adalah terkait kegiatan perkantoran dan juga kegiatan pekerjaan di pabrik. Sehingga, mengakibatkan sejumlah moda transportasi masih tetap dipenuhi oleh warga masyarakat," kata Doni dalam keterangannya seusai rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (20/4/2020).
Baca Juga: PSBB Corona di Depok, Pelayan RM Padang di Margonda Pakai Face Shield
Dari fakta tersebut, sejumlah moda transportasi publik masih disesaki oleh para pekerja yang tetap masuk dalam kondisi PSBB. Doni mengungkapkan, para pekerja yang masih memunyai kewajiban masuk di antaranya petugas medis di rumah sakit.
Alhasil, Kementerian Perhubungan belum bisa melakukan pembatasan pada moda transportasi publik -- Kereta Rel Listrik (KRL) hingga Bus TransJakarta. Padahal, kata Doni, sejumlah pihak telah mendesak agar transportasi publik dibatasi.
"Walaupun sudah ada permintaan dari sejumlah pihak untuk membatasi bahkan juga membatalkan transportasi, tetapi Kemenhub belum bisa memenuhi permintaan tersebut," sambungnya.
"Alasannya adalah para pekerja yang sebagian besar adalah mereka yang bekerja pada sektor-sektor yang memang tidak bisa ditinggalkan seperti petugas di RS, pelayan pada fasilitas umum sehingga mereka tetap harus bekerja," kata Doni.
Jenderal TNI bintang tiga ini mengungkapkan, banyak pekerja yang memunyai konsekwensi berat jika tak masuk kerja. Risiko pemotongan gaji hingga PHK bakal menjadi mimpi buruk bagi pekerja yang tak masuk kerja --tentunya, dalam kondisi semacam ini.
"Kalau mereka tidak berangkat kerja maka konsekuensinya mereka dianggap bolos dan dapat berisiko dipotong honor dikurangi gajinya bahkan bisa juga di PHK karena tidak mengantor," katanya lagi.
Baca Juga: Dampak PSBB Jakarta, Pusat Operasional BMKG Dipindah ke Bali
Doni meminta segenap pihak --khususnya pemilik perusahaan-- untuk mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah. Apabila masih terdapat perkantoran dan pabrik yang tak sejalan dengan ketentuan, maka sanksi yang tertuang dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 akan menjadi solusi.
"Dengan demikian, apabila masih terdapat sejumlah perkantoran dan pabrik yang tdak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh protokol kesehatan maka beberapa langkah akan dilakukan mulai dari peringatan, teguran, bahkan sanksi sebagaimana pasal 93 UU 6/2018 manakala tjd hal yang membahayakan kesehatan masyarakat akan bisa dikenai denda dan sanksi pidana," imbuh Doni.