Suara.com - Di dalam rumah kontrakan beralaskan semen dingin, Muhammad Yusuf hanya bisa memandangi anaknya yang semakin hari semakin kurus. Sejak tidak bisa mencari nafkah di luar, Yusuf kesulitan menyambung hidupnya dan keluarga di Kota Pekanbaru.
Setiap malam anaknya juga rewel karena sakit, tapi ia juga tak bisa berbuat banyak karena ia tak mampu membeli obat penurun panas untuk anak bungsunya ini.
"Tiap malam si adek nangis terus, tapi demamnya juga malam hari, kalau siang gini enggak rewel lagi," kata Yusuf, Minggu, 19 April 2020, seperti dikutip dari Riauonline.co.id -- jaringan Suara.com.
Yusuf biasanya berdagang tahu Sumedang di depan Giant Tuanku Tambusai, dari sanalah ia menggantungkan hidup istri dan tiga orang anaknya.
Baca Juga: Viral Video WNA Ditegur Petugas, Ngotot Ogah Pakai Masker di Jalan
Namun, sejak Covid-19 melanda Pekanbaru penghasilannya menurun drastis.
Pernah Yusuf mencoba memaksakan berjualan seperti biasanya, namun ia mengalami kerugian selama hampir satu Minggu, karena hasil penjualan tidak mencapai modal. Sementara, ia tetap harus membayarkan setoran kepada supplier tahu mentah.
Yusuf mengaku segan kepada pedagang tahu mentah ini jika terus mengutang, sehingga ia memutuskan untuk tidak berjualan lagi, karena tidak mau menambah beban supplier tahu mentahnya.
Mengandalkan bantuan dari masjid dan mengutang pada tetangga
Selama sebulan belakangan ini, Yusuf hanya bisa menggantungkan hidup dari tabungan yang tidak seberapa. Namun, kali ini Yusuf benar-benar tidak tahu cara melanjutkan hidupnya.
Baca Juga: Rindu Berat! Perawat Corona Peluk Anak yang Dibungkus Plastik, Awas Mewek
Untungnya, pihak masjid setempat memberikan sedikit bantuan sembako sehingga bebannya lebih ringan. Sayangnya, untuk memenuhi kebutuhan memasak seperti gas LPG, Yusuf lagi-lagi harus mengutang kepada tetangganya.
Sebenarnya, Yusuf sudah sering berhutang dengan warung dekat rumahnya, namun selama ini ia selalu membayar tepat sesuai perjanjian, hanya saja dengan kondisi seperti sekarang ia tidak berani berjanji lagi.
"Kadang-kadang untuk makan saya minjam kesana kemari, malu sebenarnya, tapi ya daripada tidak makan saya kesampingkan rasa malu saya. Kalau ngutang ke warung, saya juga tidak bisa janjikan ke orang warung mau bayar kapan," kata Yusuf, Minggu, 19 April 2020.
Yusuf tinggal di Kelurahan Tangkerang Barat, Kecamatan Marpoyan Damai, tepatnya di belakang Giant Tuanku Tambusai dengan mengontrak sebuah rumah petak kecil dengan harga sewa Rp 600 ribu perbulannya.
Diakui Yusuf, jika orang melihat sepintas mereka pasti akan berpikir Yusuf memiliki harta yang cukup berlebih karena di dalamnya rumahnya ada dua televisi dan dua sepeda motor jenis Mio.
Padahal, televisi dan motor ini merupakan milik temannya yang dititipkan di rumah Yusuf sejak beberapa Minggu yang lalu, begitu juga dengan alat kompresor yang ada di dalam rumahnya.
"Ini (kompresor) punya temen saya, pernah saya keluarkan, dapat dua ribu rupiah dari orang yang isi angin motor," tambahnya.
Sementara televisi yang satu lagi milik ketua RT dekat rumahnya, yang mana dipinjamkan sebagai hiburan untuk Yusuf dan keluarganya. Artinya ia tidak punya hak untuk menjualnya.
"Kalau mau jual barang, apa yang mau saya jual disini? Berapa lah dapatnya ini semua?" keluhnya.
Adapun barang terakhir yang dijual Yusuf ialah smartphone nya jenis iPhone seri lama, yang ia jual seharga Rp 300 ribu. Bahkan untuk menjual hp tersebut ia tidak sanggup secara COD (Cash on Delivery).
"Gak sanggup bensin saya menghantarkan hp ini," tandasnya.
"Mau pulang pun, ya kondisi sama saja"
Hari ini sebenarnya Yusuf berencana menjemput ke dapur umum yang sudah disiapkan oleh Pemerintah Provinsi Riau di Lapangan Purna MTQ. Berbekal uang bensin hasil penjualan hp, Yusuf membawa fotokopi KK dan KTP ke lapangan purna MTQ.
Sayangnya, sesampai disana ia harus kecewa karena ternyata regulasi yang diterapkan Pemprov hanya memberikan kepada warga sebanyak 1000 paket, yang mana warga tersebut harus berasal dari dua kecamatan, yakni Rumbai dan Tenayan Raya.
"Sebenarnya tadi saya juga heran di sana, katanya physical distancing, tapi orang berdesak-desakan juga, pas diberitahu hanya untuk dua kecamatan, ya kita langsung bubar tadi. Masak saja apa yang ada di rumah," ulasnya.
Disinggung apakah Yusuf ada rencana untuk pulang ke kampungnya di Kayu Agung, Sumatera Selatan. Yusuf menyebut hal tersebut akan sama saja karna berdasarkan komunikasi dia dengan keluarganya di Sumsel, kondisi ekonomi juga tidak jauh berbeda.
"Mau pulang pun, ya kondisi sama saja," pungkasnya.
Yusuf hanya berharap agar Pemerintah betul-betul serius memikirkan nasib masyarakat yang miskin seperti dia, karena hingga hari ini dia tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah.
"Kemarin sudah didata sama pak RT, tapi saya berharap agar sembako ini segera diberikan, karena kami disuruh bertahan di rumah tapi kebutuhan hidup kami tidak dipenuhi," tutupnya.