Dalam dokumennya, 63 tapol Papua itu dijelaskan sudah ditahan secara sewenang-wenang dan tidak sah, lantaran sudah terjadi pelanggaran terhadap kewajiban Indonesia dalam hukum HAM internasional.
“56 nama di antaranya telah disampaikan, pada Februari, kepada Presiden Jokowi ketika beliau mengunjungi Australia dan juga kepada Menkopolhukam, namun sejauh ini kita belum mendapat respon apapun, kecuali bahwa Pak Menteri bilang bahwa data tersebut ‘sampah’," ujar Veronika.
63 tapol kasus makar itu terdiri dari 56 orang asli Papua, 1 orang non-Papua Indonesia, 5 orang Maluku, dan 1 orang kewarganegaraan Polandia. Tujuh di antaranya telah divonis dan sisanya masih ada yang menjalani proses persidangan serta menunggu untuk disidangkan.
Perlu diingat kembali mayoritas 56 tapol tersebut ditangkap aparat keamanan ketika mengikuti demonstrasi mendukung Papua pada 2019.
Baca Juga: Imbas Jam KRL Dibatasi, Petugas Maklumi Banyak Penumpang Nginap di Stasiun
Alasan penahanan pun beragam seperti karena membawa bendera Bintang Kejora maupun Benang Raja, atau ada juga yang dikarenakan berpartisipasi dalam aksi damai serta menjadi menjadi anggota dari organisasi yang mendukung hak atas penentuan nasib sendiri. Tetapi, tindakan di atas tersebut dilindungi hukum internasional.
"Kesemua 63 tapol tersebut dikenakan makar Pasal 106 dan/atau Pasal 110 KUHP, dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun," tambahnya.