63 Tapol Papua Desak Kasusnya Dibawa ke Meja PBB

Kamis, 16 April 2020 | 12:12 WIB
63 Tapol Papua Desak Kasusnya Dibawa ke Meja PBB
Sebagai ilustrasi: Surya Anta dan tapol Papua lainnya seusai sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (16/12/2019). [Suara.com/Muhammad Yasir]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - 63 tahanan politik (tapol) kasus makar di Indonesia telah mengirim desakan ke Gugus Kerja Penahanan Sewenang-wenang dan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam desakannya tersebut puluhan tapol tersebut meminta agar kasusnya dibawa ke meja sidang PBB.

63 tapol kasus makar itu meminta pengacara HAM Jennifer Robinson dan Veronika Koman lengkap serta dukungan dari organisasi HAM tapol. Di dalam dokumen desakannya tersebut dijelaskan kalau 63 tapol kasus makar itu ditahan secara sewenang-wenang dan tidak sah.

"Karena telah terjadi pelanggaran terhadap kewajiban Indonesia dalam hukum HAM internasional," kata Veronika dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/4/2020).

63 tapol kasus makar itu terdiri dari 56 orang asli Papua, 1 orang non-Papua Indonesia, 5 orang Maluku, dan 1 orang kewarganegaraan Polandia. Tujuh di antaranya telah divonis dan sisanya masih ada yang menjalani proses persidangan serta menunggu untuk disidangkan.

Baca Juga: 6 Tapol Pengibar Bendera Bintang Kejora Dituntut 1 Tahun 5 Bulan Penjara

Perlu diingat kembali mayoritas 56 tapol tersebut ditangkap aparat keamanan ketika mengikuti demonstrasi mendukung Papua pada 2019.

Alasan penahanan pun beragam seperti karena membawa bendera Bintang Kejora maupun Benang Raja, atau ada juga yang dikarenakan berpartisipasi dalam aksi damai serta menjadi menjadi anggota dari organisasi yang mendukung hak atas penentuan nasib sendiri. Tetapi, tindakan di atas tersebut dilindungi hukum internasional.

"Kesemua 63 tapol tersebut dikenakan makar Pasal 106 dan/atau Pasal 110 KUHP, dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun," ujarnya.

Veronika menuturkan bahwa 56 nama tapol itu sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD ketika mengunjungi Australia pada Februari lalu. Namun, hingga saat ini belum ada respon yang disampaikan kecuali respon Mahfud yang menyebutkan kalau dokumen tersebut hanyalah sampah.

Dengan begitu pihaknya mendesak PBB dan pemerintah Indonesia untuk menanggapi masalah tapol tersebut secara serius karena ada nyawa yang menjadi taruhannya.

Baca Juga: Kasus Makar Tapol Papua, ICJR Kirimkan Amicus Curiae ke PN Jakarta Pusat

Dalam desakannya tersebut meminta agara 63 tapol bisa dilepaskan sesegara mungkin dan tanpa syarat. Hal tersebut dilakukan lantaran penjara di Indonesia yang over kapasitas rentan terhadap adanya penularan virus Corona (Covid-19). Di sisi lain, Komisioner Tinggi HAM PBB telah meminta supaya pembebasan tapol harus menjadi prioritas. Indonesia, dengan angka kematian tertinggi di Asia, telah mengakui resiko penyebaran COVID-19 di penjara yang overkapasitas dengan telah dibebaskannya 30.000 tahanan. Namun, ke-63 tapol ini, yang tidak menimbulkan ancaman bagi masyarakat, masih dipenjara.

Dalam kesempatan yang sama Jennifer Robinson juga mengatakan bahwa desakan itu dibuat karena adanya ancaman serius terhadap keselamatan jiwa tahanan.

"Yang ditahan di penjara yang overkapasitas di tengah pandemi di Indonesia. Kini penahanan mereka tidak hanya tidak sah tapi juga mengancam keselamatan jiwa. Semua 63 tapol tersebut harus segera dibebaskan tanpa syarat," ujar Jennifer.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI