Suara.com - Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta AB Widyanta meminta aparat kepolisian lebih berhati-hati menyampaikan tuduhan adanya aksi penjarahan yang hendak dirancang kelompok Anarko.
Abe, sapaan AB Widyanta justru menyebutkan soal tuduhan itu masih sangat prematur lantaran kasus vandalisme yang diduga dilakukan lima tersangka yang disebut sebagai kelompok Anarko masih dalam proses penyidikan.
Menurutnya, tuduhan yang disebarkan itu justru menambah kecemasan di masyarakat bersamaan dengan wabah Corona (COVID-19).
"Etika publik dari aparatur sipil negara dalam hal ini adalah aparat keamanan yang punya hak prerogatif untuk melakukan proses itu dipersilakan, kalau iya (benar). Tetapi, jangan kemudian menyebar informasi yang sebetulnya masih proses penyidikan gitu. Itu artinya ini prematur," kata Abe saat dihubungi Suara.com, Minggu (12/4/2020).
Baca Juga: Budiono Diserang, Dua Kali Kena Tusuk di Perut
Dia menganggap, meski pun itu dianggap benar, seharusnya polisi tidak menyebarkan informasi itu secara gamblang karena khawatir menganggu psikologi masyarakat yang kini tengah diterpa pandemi. Namun demikian, dia masih meragukan soal isu ada pergerakan secara masif yang dirancang kelompok Anarko untuk melakukan penjarahan di Pulau Jawa.
"Maksudnya kalaupun toh iya, tetapi dilihat loh ini konteksnya itu dalam kondisi warga tercekam oleh karena isolasi mandiri berkaitan dengan Covid. Orang dengan psikologis yang sudah berat begitu, dibebani lagi dengan ketakutan tentang penjarahan dari kelompok ini (Anarko). Jumlahnya berapa, punya data enggak kepolisian? Menurut saya ini berlebihan," ujar Abe.
"Seberapa besar kekuatan mereka sehingga sampai se-Pulau Jawa, make sense tidak? Ini maksudnya common sense, orang umum saja masih bisa berpikir. Ini enggak pernah kelihatan bentuknya (Anarko) seperti apa, bagaimana selama ini, tidak ada informasi tentang itu tiba-tiba mau menjarah, itu seperti apa sih," sambungnya.
Oleh karena itu, Abe menilai bahwa dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini aparat kepolisian dinilai perlu hati-hati dalam menyampaikan informasi kepada publik. Jangan sampai, maksudnya memberikan informasi terkait adanya rencana penjarahan yang diduga hendak dilakukan oleh kelompok Anarko Sindikalis justru ujungnya menambah kecemasan di tengah masyarakat.
"Apakah penting informasi itu ketika polisi sudah meng-handle semuanya dengan silent pun bisa. Tapi dengan seluruh proses-proses prosedur yang manusiawi ya, dengan perangkat HAM sebagai dasarnya tentu saja. Karena setiap warga negara dijamin haknya loh. Jangan sampai kemudian kalau ini kedepan dilakukan tentu harus mengindahkan basis-basis penting soal bagaimana HAM," tegasnya.
Baca Juga: Disatroni Polisi saat Asyik Kongko di Warkop Tuman, Warga Mendadak Bubar
Sebelumnya, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana menyebut, kelima orang yang bergabung dalam kelompok Anarko sudah merancang aksi vandalisme secara serentak di Pulau Jawa pada 18 April 2020 mendatang. Kelima pemuda itu ditangkap lantaran melakukan aksi vandalisme di Tangerang, Banten.
"Mereka merencanakan pada tanggal 18 April 2020 akan melakukan aksi vandalisme secara bersama-sama di kota besar di Pulau Jawa ini," kata Nana di Polda Metro Jaya, Sabtu (11/4/2020).
Nana mengatakan para pelaku ini berniat memanfaatkan situasi masyarakat yang sedang resah di tengah wabah COVID-19 dengan menyebarkan provokasi untuk membuat keonaran dengan ajakan membakar dan menjarah.
"Kelompok ini sangat berbahaya dan kita bersyukur kasus ini bisa terungkap sehingga rencana mereka tidak bisa terlaksana," ujarnya.
Terkait aksi vandalisme di Tangerang, polisi telah meringkus lima tersangka. Mereka adalah Rizky (19), Aflah (18), Rio (18) RH dan RJ. Tiga tersangka berhasil di sebuah kafe di wilayah Tangerang, yakni di Cafe Egaliter. Sedangkan dua orang lainnya ditangkap di Bekasi dan di Tigaraksa.
Mereka telah membuat coretan di empat TKP, dengan tulisan yang dianggap meresahkan warga Tanggerang Kota di tengah pandemi Covid-19. Seperti, di tralis bangunan toko hingga tiang listrik.
Adapun tulisan mereka yang dianggap provokatif yakni 'Kill The Rich' yang artinya bunuh orang kaya, kemudian 'sudah krisis saatnya membakar', dan 'mau mati konyol atau melawan.
Dari pengungkapan kasus ini, polisi telah menyita sejumlah barang bukti seperti foto dinding TKP, cat semprot merk Diton, 1 unit motor pelaku, dan rekaman CCTV.
Atas perbuatannya, kelimanya dijerat Pasal 160 KUHP UU RI nomor 1 Tahun 1946 tentang tindak pidana berita bohong yang menghasut untuk melakukan tindak pidana.