Suara.com - Umat Islam diwajibkan untuk menjalankan puasa di Bulan Ramadan. Namun, ada golongan tertentu yang tidak diwajibkan untuk berpuasa. Salah satunya yakni golongan ibu hamil dan menyusui. Perempuan dalam kondisi tersebut mendapat keringanan atau rukhsah untuk tidak berpuasa di Bulan Ramadan.
Dikutip dari NU.or.id, Rabu (8/4/2020), Madzhab Syafi'i menerangkan, bila seorang perempuan yang sedang hamil atau menyusui berpuasa namun khawatir memberikan dampak negatif pada kondisi kesehatan dirinya, bersama anak atau salah satunya, maka wajib membatalkan puasa.
Mereka juga wajib mengganti atau mengqadla puasa di hari lain bila memenuhi tiga syarat tersebut. Namun, jika berpuasa dikhawatirkan membahayakan anak saja, maka ibu hamil dan menyusui diharuskan pula membayar tebusan atau fidyah.
Sementara dalam kitab Fiqih as-Sunnah karya Sayyid Sabiq, disebutkan cara untuk mengetahui apakah puasa membahayakan bagi ibu hamil dan menyusui, bersama anaknya atau salah satu dari mereka.
Baca Juga: Pria Tergeletak di Pasar karena Demam, Dievakuasi dengan Protokol Covid
Cara tersebut yakni dengan melihat riwayat kebiasaan-kebisaaan sebelumnya, merujuk keterangan dari ahli medis atau berdasarkan dugaan kuat yang dirasakan ibu hamil dan menyusui.
Lantas bagaimana tata cara qadha dan membayar fidyah?
Bagi ibu hamil dan menyusui yang diwajibkan mengqadla puasa bisa dilakukan setelah bulan Ramadan dan waktu menyusui, sesuai dengan jumlah ibadah yang ditinggalkan
Adapun khusus untuk wanita hamil yang kemudian melahirkan dan menyusui secara berturut-turut sampai beberapa tahun, maka qadha puasa bisa diganti dengan fidyah.
Fidyah sendiri merupakan sejumlah harta benda dalam kadar tertentu yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti suatu ibadah yang dijalankan.
Baca Juga: Corona RI Dekati Angka 3 Ribu Kasus, Pasien Positif 2.956, Meninggal 240
Fidyah boleh berupa sejumlah makanan atau uang yang bisa dipergunakan untuk keperluan orang yang membutuhkan.