Suara.com - Parlemen Turki, Selasa (7/4), membahas undang-undang pembebasan tahanan yang bertujuan mengurangi kepadatan di penjara dan melindungi para tahanan dari virus corona.
Rencana itu dikecam para kritikus karena mengecualikan orang yang dipenjara atas tuduhan terorisme dalam tindakan keras pascakudeta.
RUU yang diajukan oleh Partai AK yang mengusung Presiden Tayyip Erdogan untuk sementara waktu akan membebaskan sekitar 45.000 tahanan guna mengatasi ancaman penyebaran virus corona di penjara.
Jumlah yang sama akan dirilis secara permanen lewat rencana yang disiapkan tahun lalu untuk mengurangi kepadatan penjara.
Baca Juga: Tekan Penyebaran Virus Corona, Turki Berwacana Bebaskan 45.000 Tahanan
Langkah itu akan mengurangi sepertiga populasi penjara. Akan tetapi, tidak mencakup narapidana yang dihukum karena tuduhan terorisme, atau mengecualikan ribuan terpidana yang ditangkap dalam pembersihan setelah gagalnya kudeta militer terhadap Erdogan pada tahun 2016.
Puluhan ribu pegawai negeri, pejabat pengadilan, personnel militer, jurnalis, dan politisi telah dipenjara dalam penumpasan tersebut.
Sekitar 50.000 orang, termasuk mantan kepala partai oposisi terbesar kedua, seorang jurnalis terkemuka, dan seorang dermawan, dikecualikan dari undang-undang baru karena mereka didakwa atau dihukum atas tuduhan terorisme, menurut anggota parlemen oposisi.
Selahattin Demirtas, mantan Ketua Partai Demokrat Rakyat pro-Kurdi (HDP), telah dipenjara selama sekitar 3,5 tahun, dituduh memimpin organisasi teroris.
Pengacaranya mengatakan bahwa Demirtas (46) berisiko tinggi terinfeksi COVID-19 karena dia memiliki tekanan darah tinggi dan telah menjalani operasi untuk masalah pernapasan.
Baca Juga: Turki Tawarkan Alat Rapid Test Corona ke Indonesia, Tapi Sifatnya Bisnis
Pengacara Mahsuni Karaman juga mengatakan bahwa definisi terorisme tidak jelas dan subjektif.