Tak Ada Jalan Keluar, Pengungsi Rohingya dan Somalia Terjepit Corona

Senin, 06 April 2020 | 20:49 WIB
Tak Ada Jalan Keluar, Pengungsi Rohingya dan Somalia Terjepit Corona
Seorang anak mengisi air minum di Refugee Learning Center (RLC), Cisarua, Bogor pada 13 November 2017. [Anton Raharjo/Anadolu Agency]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengungsi Rohingya dan Somalia kini menghadapi ancaman baru untuk keselamatan hidup mereka yaitu virus corona.

Mengalihbahasakan dari South China Morning Post, para pengungsi yang tinggal di Indonesia itu telah menerima kunjungan dari perwakilan International Organization for Migration (IOM) di Hotel Pelangi di Medan pada awal Maret lalu.

Perwakilan IOM itu mengatakan bahwa ada virus mematikan yang tengah melanda. Mereka menyarankan para pengungsi untuk sering cuci tangan dan menjaga jarak sosial.

Namun, mereka tak diberi sabun, masker atau pun hand sanitizer. Dalam pertemuan di hotel itu, mereka bahkan harus tidur dengan tiga orang lainnya dalam satu kamar. Ini membuat anjuran menjaga jarak sosial itu mustahil dilakukan.

Baca Juga: 621 Orang Dimakamkan dengan Protap Corona, DKI Klaim Tak Semuanya Positif

"IOM menyarankan kami untuk tidak meninggalkan kamp. Tapi kita harus keluar untuk membeli makanan. Jika kita tidak keluar, bagaimana kita akan makan?" kata Hamda, seorang pengungsi Somalia.

Keberadaan virus ini juga menambah beban kekhawatiran Hamda pada ibunya. Ibunya menderita kejang-kejang setelah dipukuli oleh anggota kelompok teroris Al-Shabab di Somalia.

"Saya sangat khawatir karena kondisi yang ia alami. Kita tidak bisa melakukan apa pun untuk melindungi diri. Tolong bawakan kami sabun, maka setidaknya kami dapat membantu diri kami sendiri," kata Hamda.

Para pengungsi ini datang ke Indonesia sejak sembilan tahun lalu untuk melarikan diri dari kejahatan genosida di negara mereka sendiri. Namun sekarang mereka juga menghadapi kebingungan.

"Kami terus-menerus mencurigai satu sama lain memiliki virus," kata Fahed Mohammed Abdullah yang melarikan diri dari Somalia pada 2013 lalu.

"Kami tidak tahu kapan kami akan mendapatkan Covid-19, tetapi kami tahu kami tidak akan mendapatkan kesempatan untuk pergi ke rumah sakit jika kita melakukannya. Kami adalah pengungsi," kata Fahed pada South China Morning Post.

Baca Juga: Harga Daging Ayam Merosot, Padagang Pasar Bendungan Wates Mengeluh

Proses untuk mendapat perawatan medis di kamp pengungsian juga rumit. Jika salah satu pengungsi tidak sehat, mereka harus pergi ke klinik yang tersedia tak jauh dari kamp.

Ketika kasus mereka dianggap 'darurat', mereka akan dikirim ke rumah sakit setempat dan tagihan akan ditanggung oleh IOM.

Namun, itu adalah skema jika situasi sedang normal. Saat pandemi, hanya ada 11 ruang isolasi covid-19 di kota Medan untuk penduduk yang berjumlah lebih dari 2 juta orang itu.

Penanganan pemerintah Indonesia

Menurut Andreas Harsono, peneliti di Human Rights Watch Indonesia, kurangnya sumber daya seharusnya tidak menjadi alasan untuk mendiskriminasi kelompok tertentu.

"Pemerintah nasional dan lokal Indonesia tidak bisa melindungi negara dari pandemi covid-19 dan dampak ekonominya jika mereka menolak bantuan perawatan kesehatan dan bantuan keuangan untuk para pengungsi Rohingya dan Somalia ini," kata Andreas.

Ia menegaskan, "Virus dan dampaknya tidak membeda-bedakan status pengungsi dan bentuk bantuan yang diterimanya".

Lokasi penampungan sementara warga etnis Rohingya di Kuala Langsa, Aceh, Selasa (19/5).
Lokasi penampungan sementara warga etnis Rohingya di Kuala Langsa, Aceh, Selasa (19/5).

Sementara itu, kepala kantor IOM Medan, Mariam Khokhar mengatakan, "Tentu saja mereka memiliki akses sabun dan air. Selain itu, informasi juga telah disebarkan pada bulan lalu dan selalu rutin diperbarui kepada semua migran yang berada dalam perawatan kami. Tempat ini juga didisinfeksi oleh manajemen akomodasi tiap minggunya".

Indonesia tidak termasuk dalam penandatanganan Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951 atau Protokol 1967, oleh karena itu, Indonesia tidak memiliki sistem pemukiman bagi pengungsi di negara tersebut.

Dengan begitu, para pengungsi akan menghabiskan bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun hidup dalam jurang antara hidup dan mati. Pengungsi tidak dapat bekerja secara legal dan mereka pun tak bisa kembali ke negara asal mereka.

Sementara itu, Pengungsi Rohingya Mohammad Ismail mengatakan, lebih baik terinfeksi daripada menunggu lama.

"Biarkan coronavirus datang. Lebih baik terinfeksi daripada tinggal di sini selamanya," ujar Ismail.

Ia pasrah jika mungkin akan berakhir karena virus corona.

"Jika kita terinfeksi virus corona maka setidaknya ini akan berakhir. Ini seperti genosida perlahan," kata Ismail.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI