Ketika kasus mereka dianggap 'darurat', mereka akan dikirim ke rumah sakit setempat dan tagihan akan ditanggung oleh IOM.
Namun, itu adalah skema jika situasi sedang normal. Saat pandemi, hanya ada 11 ruang isolasi covid-19 di kota Medan untuk penduduk yang berjumlah lebih dari 2 juta orang itu.
Penanganan pemerintah Indonesia
Menurut Andreas Harsono, peneliti di Human Rights Watch Indonesia, kurangnya sumber daya seharusnya tidak menjadi alasan untuk mendiskriminasi kelompok tertentu.
Baca Juga: 621 Orang Dimakamkan dengan Protap Corona, DKI Klaim Tak Semuanya Positif
"Pemerintah nasional dan lokal Indonesia tidak bisa melindungi negara dari pandemi covid-19 dan dampak ekonominya jika mereka menolak bantuan perawatan kesehatan dan bantuan keuangan untuk para pengungsi Rohingya dan Somalia ini," kata Andreas.
Ia menegaskan, "Virus dan dampaknya tidak membeda-bedakan status pengungsi dan bentuk bantuan yang diterimanya".
Sementara itu, kepala kantor IOM Medan, Mariam Khokhar mengatakan, "Tentu saja mereka memiliki akses sabun dan air. Selain itu, informasi juga telah disebarkan pada bulan lalu dan selalu rutin diperbarui kepada semua migran yang berada dalam perawatan kami. Tempat ini juga didisinfeksi oleh manajemen akomodasi tiap minggunya".
Indonesia tidak termasuk dalam penandatanganan Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951 atau Protokol 1967, oleh karena itu, Indonesia tidak memiliki sistem pemukiman bagi pengungsi di negara tersebut.
Dengan begitu, para pengungsi akan menghabiskan bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun hidup dalam jurang antara hidup dan mati. Pengungsi tidak dapat bekerja secara legal dan mereka pun tak bisa kembali ke negara asal mereka.
Baca Juga: Harga Daging Ayam Merosot, Padagang Pasar Bendungan Wates Mengeluh
Sementara itu, Pengungsi Rohingya Mohammad Ismail mengatakan, lebih baik terinfeksi daripada menunggu lama.