Suara.com - Seorang warga Wuhan menceritakan kehidupannya yang kembali setelah pemerintah mencabut status lockdown di Ibukota Provinsi Hubei tersebut.
29 Maret adalah hari pertama dia melangkah keluar dari rumah setelah dua bulan terkurung. Virus corona telah mematikan kota karena pemerintah memilih untuk me-lockdown seluruh kota, mencegah penyebaran virus corona yang muncul sejak Desember 2019 lalu.
Wong Yu menceritakan kepada The Guardian bahwa musim semi masih terasa dingin ketika ia menghirup udara kota Wuhan. Hujan musim semi itu terasa sangat lembut, seakan menyambut hari pertamanya keluar dari rumah.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa sejak dini hari tanggal 23 Januari, ketika lockdown dimulai di Wuhan, kehidupan Wong Yu berubah.
Baca Juga: Makan Indomie Goreng Pakai Kopi Serbuk, Berani Coba di Rumah?
"Kami mengalami epidemi, terkurung di rumah, menerima segala jenis berita buruk. Kami ketakutan, gelisah, dan marah," kata Wong Yu.
Dua bulan kemudian, berita baik menghampiri kehidupan orang-orang di kota Wuhan. Jumlah kasus virus corona telah turun dan kota telah dibuka. Kesabaran telah terbayar.
"Saya pikir saya sudah siap secara emosional," ujar Wong Yu.
Tapi bagi Wong Yu, tak mudah untuk 'hidup kembali'.
Dulu, di setiap luar hotel selalu ada dua petugas medis yang bersiaga. Namun sekarang Wong Yu menemukan puisi yang membangkitkan sebagai gantinya.
Baca Juga: Longsor di Selingkar Wilis, Jalur Perdagangan Trenggalek Putus Total
Ia tak tahu apakah petugas medis yang biasanya berjaga itu tak lagi bertugas atau hanya tak terlihat saja.
Ketika Yu Wong melangkah ke jalanan, Ia bercerita bahwa orang-orang sudah mulai berjalan dan bersepeda untuk bekerja. Bus juga telah beroperasi.
"Beberapa metro sekarang telah dibuka kembali, meskipun masih belum banyak kereta," kata Yu Wong.
Orang-orang biasanya mengeluh soal pemeriksaan keamanan yang harus dilakukan ketika akan naik metro, namun sekarang mereka telah kembali merasakan kenyamanan.
Beberapa orang sudah tak sabar keluar dari rumah mereka. Wong Yu menceritakan salah satu teman sekelasnya yang berfoto ria di Danau Timur. Teman lainnya juga mengunggah foto kantor mereka, bahkan beberapa juga telah pergi ke Starbucks dan McDonalds. Mereka terlihat sangat senang dengan kehidupannya yang 'kembali normal'.
Tetapi pencabutan status lockdown tidak hanya membawa sukacita. Beberapa orang termasuk dirinya masih bergulat dengan konflik.
Wong Yu yang seorang guru telah terbiasa mengajar kelasnya secara online selama dua bulan.
Ia terbiasa merasakan keheningan di luar jendela rumahnya.
Ketika melangkah keluar, melihat kotanya kembali hidup, mendengar kebisingan lagi, terasa aneh bagi Wong Yu.
Yu Wong mengisahkan beberapa temannya juga merasakan hal yang sama. Di satu sisi, mereka ingin kembali ke kehidupan normal. Di sisi lain, sulit rasanya kembali begitu tiba-tiba setelah menyesuaikan diri hidup di bawah penguncian kota.
Selama wabah melanda, ia masih diizinkan pergi ke rumah sakit setiap 10 hari sekali untuk membawakan makanan kepada neneknya yang mengalami stroke.
Ia telah biasa melihat ambulans di pintu masuk ruang gawat darurat, petugas medis berbaju hazmat kuning akan berdiri di dekatnya. Tak jarang ia menyaksikan keluarga yang menangis.
Pada tanggal 29 Maret itu, ketika lockdown secara bertahap dicabut, rumah sakit benar-benar sunyi. Satu-satunya ambulans yang ada terparkir di rumah sakit dengan mobil lainnya.
Ia tak melihat lagi keluarga yang gelisah menunggu di luar ruang gawat darurat.
Di luar kamar neneknya, dua atau tiga petugas medis berjalan, tak terburu-buru.
Dalam perjalannya pulang sehabis mengunjungi neneknya, ia tak melihat banyak orang, namun ia melihat banyak mobil.
Ia sengaja berjalan-jalan di sepanjang Sungai Wuchang. Taman itu masih sepi dan rumput liar tumbuh di jalan setapak.
Namun, beberapa orang terlihat bermunculan, mungkin seperti dirinya, ingin keluar dan melihat-lihat.
Wong Yu melihat seorang pria setengah baya duduk tak bergerak di tanah, sementara temannya berjongkok di sebelah pria itu, berusaha menariknya. Tidak ada yang memakai masker.
Adegan yang ia lihat itu mengingatkannya pada kehidupan orang-orang di awal wabah ketika seseorang tumbang di jalan. Orang-orang tak berani mendekatinya, hanya akan menonton dari jauh.
Tak mengetahui dari mana keberaniannya muncul, Wong Yu menghampiri mereka dan memberi masker cadangan yang ia bawa. Wong Yu bertanya kepada pria itu apakah dia merasa tak enak badan.
Jawabannya sungguh di luar dugaan Wong Yu, pria itu ternyata baru putus dengan pacarnya.
Rupanya sakit hati telah memukulnya lebih keras daripada epidemi.
Tulisan ini diterjemahkan oleh Wu Pei Lin dan Lily Kuo, dari cerita seorang guru 26 tahun di Wuhan, Wong Yu.