Suara.com - Enam tahanan politik Papua pengibar bendera bintang kejora di depan istana negara Jakarta pada 28 Agustus 2019 lalu, dituntut pidana penjara selama 1 tahun 5 bulan. Mereka dituntut dengan pasal makar.
Tuntutan itu dibacakan Jaksa Penutut Umum dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (3/4/2020) siang ini. Sidang digelar secara virtual; hakim, JPU dan Kuasa Hukum di ruang sidang, sementara 6 tapol Papua di rumah tahanan Salemba.
Keenam terdakwa tapol Papua itu antara lain; Ariana Elopere, Dano Anes Tabuni, Suryanta Anta Ginting, Ambrosius Mulait, Charles Kossay dan Issay Wenda.
"Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan tuntutan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 5 (lima) bulan atas pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," kata JPU, Jumat (3/4/2020).
Baca Juga: Jokowi Sebut 433 Desa Belum Dialiri Listrik, Paling Banyak di Papua Barat
Atas tuntutan itu, keenam tapol yang didampingi Tim Advokasi Papua akan mengajukan pledoi atau pembelaan dari Penasihat Hukum terdakwa.
Namun sebelum itu, Tim Advokasi Papua melayangkan protes ke Majelis Hakim karena tidak berlaku adil sebab mereka belum sama sekali diberi kesempatan untuk menghadirkan saksi ahli atau saksi fakta karena terhambat akibat pandemi virus corona COVID-19.
Tim Advokasi Papua sempat mengajukan usul untuk membacakan keterangan saksi ahli secara tertulis bersamaan dengan agenda penuntutan dari JPU pada hari ini.
"Namun nyatanya Majelis Hakim tidak konsisten dengan agenda sidang yang sudah disepakati sebelumnya (27/3/2020) agenda Pembacaan Tuntutan dan Pembacaan Keterangan Ahli, karena adanya keberatan dari JPU," kata Anggota Tim Advokasi Papua Nelson Simamora melalui keterangannya, Jumat (3/4/2020).
Sementara JPU pada sidang sebelumnya diberikan kesempatan sebanyak 7 kali selama 6 minggu untuk menghadirkan saksi maupun ahli padahal pada waktu itu belum ada pembatasan sosial akibat virus corona. Sedangkan kuasa hukum hanya diberikan kesempatan 3 kali dalam waktu 2 minggu saja,
Baca Juga: Amnesty Internasional Desak Pembebasan Narapidana Kasus Pasal Makar Papua
"Ini jelas merugikan hak terdakwa untuk mengusahakan dan mengajukan saksi-saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya sebagaimana pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)," tegas Nelson.
Akhirnya, pada sidang hari ini disepakati sidang akan dilanjutkan pada hari Senin, 13 April 2020 dengan agenda pembacaan pledoi atau pembelaan dari penasihat hukum terdakwa, sekaligus pembacaan keterangan ahli dari penasihat hukum terdakwa diberikan kesempatan pada saat pengajuan duplik secara tertulis.