Suara.com - Pakar biologi dari Stem Cell and Cancer Institute, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo menilai rapid test yang dipakai pemerintah untuk menguji corona tidak tepat. Pasalnya, alat tersebut tidak mendeteksi virus namun antibodi virus.
"Rapid test yang dibeli pemerintah adalah alat yang digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus. Padahal yang dicari harusnya bukan antibodinya, melainkan adalah virusnya sendiri yang harus dicari," kata Utomo seperti dikutip dari Hops.id--jaringan Suara.com, Selasa (31/3/2020).
Menurut Utomo, rapid test adalah metode yang sangat sederhana sehingga dikhawatirkan bakal memberikan 'false negative' atau hasil negatif yang palsu. Pasien yang dites menggunakan metode ini bisa saja menunjukkan hasil negatif corona padahal aslinya positif.
Penyebabnya karena waktu yang dibutuhkan untuk mengetes antibodi sangat singkat.
Baca Juga: Buntut Corona, Puluhan Narapidana Nusakambangan Dibebaskan
Selain itu, harga rapid test juga murah, tidak seperti metode Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) yang selama ini digunakan oleh negara-negara lain untuk melakukan uji corona.
"Indonesia nih menarik, melakukan tes yang sangat besar namun dengan alat yang belum pernah digunakan di dunia. Dunia semua pakainya PCR. Kita pakainya ini rapid test. Sebab untuk memutus mata rantai corona, tetap PCR yang tak boleh ditinggalkan," tegas Utomo.
Harga rapid test juga berkisar puluhan ribu, sama seperti tes diabetes yang murah meriah dan mudah dilakukan.
Bandingkan dengan alat PCR yang per satu kali tes bisa memakan biaya Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta.
"Kalau rapid test kan cuma puluhan ribu, ini seperti tes diabetes, murah sekali," imbuhnya.
Baca Juga: Corona Merebak, Pegawai di Pasar Colombo Rela Dibayar Seikhlasnya
Padahal, menurut Utomo, sangat mungkin jika Indonesia merakit sendiri alat PCR dengan melibatkan para ilmuwan. Kualitas dan tingkat akurasinya pun tidak jauh berbeda dengan negara lain.