Suara.com - Pasien bernomor 119 itu berhasil melewati masa kritisnya setelah 13 hari berjuang melawan covid-19.
Mulanya, Ben mengalami demam 37,2 derajat celcius ketika memeriksakan diri ke dokter umum pada 27 Februari 2020.
Dua hari kemudian pada 29 Februari, dia kembali mengunjungi dokter dan mendapati demamnya naik menjadi 38 derajat cerlcius. Dia tak memiliki gejala lain.
Keesokan harinya, demam di tubuh Ben tak kunjung hilang. Ben kemudian memeriksakan diri ke Alexandra Hospital pada 1 Maret. Ia mendapat sertifikat medis dan diperbolehkan pulang.
Baca Juga: Ramalan Zodiak April 2020: Pisces Kelelahan, Virgo Rawan Kehabisan Uang
Pada 5 Maret, Ben kembali lagi ke rumah sakit dengan demam 37,4 derajat celcius. Ia menjalani tes dan hasinya dia terinfeksi virus.
Meskipun dia tak mengalami sesak napas, namun pemeriksaan menunjukkan bahwa saturasi oksigennya sangat rendah.
Dokter memberinya oksigen tingkat tinggi melalui masker oksigen.
"Karena dia membutuhkan oksigen yang cukup banyak, kami memindahkannya ke UGD untuk pemantauan lebih dekat. Kami menduga dia menderita covid-19," kata Dr Liew Mei Fong, kepala UGD pada The Straits Times.
Suhu tubuh Ben tak kunjung stabil. Demamnya naik turun.
Baca Juga: Jokowi Khawatir TKI Mudik dari Malaysia Bawa Virus Corona ke Desa
Enam jam kemudian, kondisinya memburuk di UGD. Dokter harus memberinya life support.
Hasil tes laboratorium Ben kembali menunjukkan bahwa dia positif terkena covid-19.
Kondisi Ben menurun drastis dalam waktu sehari.
Dr Liew kemudian memasang tabung pernapasan yang terhubung ke ventilator ke tenggorokannya melalui mulut.
Ia mengalami sindrom gangguan pernapasan akut atau Ards.
Selain itu, Ben juga memiliki diabetes dan tekanan darah tinggi. Penyakit bawaan ini menambah parah infeksi covid-19 padanya.
Laki-laki berusia 55 tahun ini pun menggunakan Kaletra, kombinasi obat HIV, untuk mengatasi sakitnya.
"Ketika saya mendengar kata life support, saya begitu ketakutan," kata Ben. "Pikiran menjadi kosong untuk beberapa saat."
Ben lalu mengirim pesan kepada keluarganya untuk memberitahukan keadaannya. Ia juga mengirim sms kepada salah seorang temannya untuk menunjukkan dimana surat wasiatnya berada.
"Jika sesuatu terjadi pada saya, tolong beri tahu keluarga saya tentang surat wasiat saya".
Pukul 11 malam, Dr Liew meninggalkan rumah sakit setelah menstabikan kondisi Ben.
"Ketika saya diintubasi, saya bangun di sebuah ruangan kantor yang tidak saya kenali," kata Ben.
Ben menatap ruang kantor yang berisi meja, lemari arsip, jam dan tak ada seorang pun di sana.
"Itu menakutkan, dalam artian aku tak punya kendali. Aku tidak bisa keluar," kisah Ben.
Dalam adegan halusinasi selanjutnya, kepalanya dikelilingi oleh bahasa-bahasa Korea yang ia sama sekali tak mengerti.
"Aku mencoba memejamkan mata, tetapi aku tak bisa menghindarinya," kata Ben yang mengalami halusinasi ini ketika dibius.
Ben melanjutkan, "Aku hanya bisa berpikiroh tolong, aku hanya ingin keluar dari sini, aku tidak bisa menerimanya! Lalu aku pindah ke adegan selanjutnya".
Dr Liew mengarakan, Ben menderita ICU delirium. Kondisi ini umum terjadi pada pasien yang kritis dan menerima sedasi dengan dosis tinggi.
"Jika mereka tidak dibius dengan benar, kita tidak akan bisa membebaskan mereka dari ventilator untu membantunya bernapas, dan itu akan semakin memperburuk peradangan paru-paru," kata Liew.
Ben bergantung pada alat bantu pernapasan hingga lima hari kemudian.
Perlaha, Dr Liew melepas secara bertahap dari alat bantu ventilator dans edasi tersebut.
"Aku ingat saat ditanya rasa sakit, dan aku bisa mengedipkan mataku," kenang Ben. "Aku harus mengatakan bahwa mereka sangat sabar. Mereka menanyaiku berkali-kali dan menunjuk tabung pernapasan. Saat itulah aku menyadari telah membaik karena bisa merespon perlahan pada dokter dan perawat."
Pada 12 Maret, Ben lepas dari ventilator.
Tabung pernapasannya telah dilepas dan dosis obat penenangnya telah dikurangi.
Ben menerima suplemen oksigen dari kanula hidung.
"Aku ingat mencoba mengatakan 'terima kasih' tetapi aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun," kata Ben.
Dokter memberi tahunya bahwa pita suara Ben terpengaruh hingga perlu beberapa saat untuk bisa mendapatkannya kembali.
Ben kemudian mencoba tidur. Namun, setiap kali ia memejamkan mata, dia melihat spesies luar angkasa dari film Predators di seluruh kamarnya.
Ben tersadar setelah melihat dokter dan perawat sibuk di luar.
Dia harus berada di UGD selama beberapa hari lagi, kalau-kalau kondisinya memburuk.
Ingatan Ben hanya tentang halusinasi. "Aku bahkan tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelah aku dirawat di rumah sakit," kata Ben.
Perawat membantunya mengingat apa yang telah terjadi. Dia juga membaca pesan yang dia kirim kepada keluarganya.
"Sejujurnya aku tidak menyadari betapa kritisnya kondisiku. Aku hanya melihat dari pesan yang dikirim kakakku ke keluargaku. Satu pesan mengatakan kondisiku telah membaik tetapi aku tidak sadar."
Para perawat memanggil namanya. Mereka membantu membersihkan kotorannya.
"Mereka mengubah posisi saya ke kanan, ke kiri, dan memindahkan saya ke posisi yang lebih nyaman".
Ben merasa tak enak karena beberapa kali harus meminta bantuan setelah beberapa menit perawat meninggalkan kamarnya.
"Mereka harus mengenakan perlengkapan pelindung setiap kali mereka datang, tapi mereka tak pernah mengeluh," kata Ben.
Rambut Ben bahkan disisir oleh para perawat tersebut, "Berapa banyak orang yang benar-benar menyisir rambut untukmu?" kenang Ben.
"Ada suatu hari ketika saya bertanya apakah saya bisa mendapatkan alat cukur sekali pakai. Perawat itu benar-benar pergi mengambilkannya, sehingga saya benar-benar tersentuh," ucap Ben.
Para dokter dan perawat yang tak pernah ia kenal akan melambai dan tersenyum padanya ketika berjalan meewati kamarnya.
Dia mengatakan para perawat yang berasal dari Malaysia, Taiwan, Filipina, Vietnam, dan Singapura menginginkannya sembuh.
"Aku merasa tanpa mereka, aku tidak akan cepat sembuh," kata Ben.
Pada 17 Maret, Ben dipindahkan dari UGD ke bangsal isolasi karena ia sudah bisa bernapas tanpa alat bantu.
"Saya sadar covid-19 telah membunuh banyak orang di seluruh dunia, dan ditempatkan di UGD berarti ada kemungkinan bahwa saya tak bisa keluar selamat," katanya.
Sementara itu, Dr Liew mengatakan meskipun sistem kesehatan di Singapura kuat, kita tetap harus memperhatikan tanggung jawab sosial dan jarak sosial untuk menghentikan pandemi ini.
Setelah tiga kali melakukantes usap secara terspisah dan hasilnya menunjukkan negatif covid-19, Ben kembali ke rumahnya.
"Saya menangis berkali-kali. Saya juga menangis ketika seorang perawat mengatakan kepada saya bahwa dia berdoa untuk saya meskipun dia tidak mengenal saya. Saya juga menangis ketika saya melihat bahwa para perawat begitu sibuk dan belum, mereka merawat saya dengan baik, "kata Ben.
"Aku menyadari bahwa aku memiliki kesalahpahaman bahwa ICU seperti hukuman mati ... tapi aku menyadari bahwa itu mungkin satu-satunya tempat yang bisa menyelamatkanku. Aku adalah bukti hidup."
Ben kembali menangis saat wawancara ini karena dia sangat tersentuh dengan apa yang dilakukan para dokter dan perawat untuknya dan "sangat bersyukur karena masih hidup".