Suara.com - Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengkritik Presiden Jokowi yang berencana menggunakan kebijakan Darurat Sipil dalam Perpu 1959 untuk mengatasi corona.
"Darurat Sipil jelas tidak cocok, sekarang situasi darurat karena masalah wabah penyakit. Berhubungan dengan isu Kesehatan masyarakat," jelasnya saat dihubungi Suara.com Selasa (31/3/2020).
Menurutnya, Perpu yang dikeluarkan tahun 1959 tersebut memiliki tujuan dan konteks keadaan yang berbeda dengan yang dialami negara saat ini.
Oce menjelaskan ada tiga tingkatan keadaan bahaya yang tercantum dalam Perpu tersebut yakni darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang.
Baca Juga: Ini Cara Daftar Online Calon Pengantin yang akan Menikah selama masa WFH
"Syarat-syarat keadaan bahaya dengan berbagai tindakan darurat itu ada dalam Pasal 1 Perpu; semua mengarah pada terancamnya keamanan/ketertiban oleh pemberontakan, kerusuhan, bencana, perang, membahayakan negara, tidak dapat diatasi oleh alat perlengkapan negara secara biasa," terang Oce melalui Twitter pada Senin (30/3/2020).
Ahli hukum di Pusat Kajian Anti Korupsi UGM ini pun tak habis pikir mengapa pemerintah lebih merujuk Perpu 1959 untuk menangani virus corona.
"Padahal ada regulasi UU Penanggulangan Bencana tahun 2007 dan UU yang dibuat Presiden Jokowi, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," kata Oce.
Menurutnya, mekanisme dalam kedua UU tersebut lebih 'sipil' daripada Darurat Sipil dalam Perpu 1959.
"Jadi 'darurat sipil' ala Perpu 1959 ini arahnya ke "penertiban" dengan dalih keamanan/ketertiban umum, sementara darurat Bencana atau darurat Kesehatan ala UU 24/2007 dan UU 6/2018 arahnya ke 'menjamin kebutuhan dasar rakyat'. Pilih mana?" tanya Oce.
Baca Juga: Peran Orang Tua untuk Melindungi Keluarga dari Corona
Oce menambahkan kritik, "Apa karena beban tanggung jawab pemerintah yang berat dalam UU Karantina Kesehatan, seperti yang sudah beredar, menanggung kebutuhan dasar rakyat? Kalau pake Perpu memang enggak ada bebannya".