Suara.com - Presiden Brasil Jair Bolsonaro dikecam setelah pada Rabu (25/3/2020) menekankan pandangannya bahwa karantina tingkat negara bagian karena wabah virus corona cenderung melumpuhkan ekonomi negaranya dan meningkatkan pengangguran.
Ia mendesak di Twitter agar kebijakan itu diubah.
Presiden beraliran kanan-jauh, yang juga mantan kapten tentara, itu dikritik karena menyampaikan pendapat tersebut dalam pidato televisi kepada bangsa pada Selasa (24/3). Saat itu, ia meremehkan kemungkinan dampak "flu ringan" di Brasil.
Ketika ia berbicara, orang-orang di kota-kota di seluruh Brasil memukul-mukul panci dan wajan sebagai bentuk protes tradisional. Jajak pendapat menunjukkan popularitas Bolsonaro merosot.
Baca Juga: Brasil Sulap Stadion Sepakbola Untuk Dijadikan RS Darurat Corona
"Kalau perusahaan tidak menghasilkan pendapatan, mereka tidak akan membayar gaji. Kalau ekonomi runtuh, pekerja publik juga tidak akan menerima apa-apa. Kita perlu membuka bisnis dan melakukan segalanya untuk menjaga kesehatan kelompok lanjut usia," cuit presiden pada Rabu pagi.
Bolsonaro berada di bawah tekanan yang meningkat karena penanganan lemah wabah tersebut. Bahkan, bekas sekutu-sekutu politik bereaksi dengan kengerian atas sikapnya yang probisnis, senada dengan sikap Presiden AS Donald Trump. Sikap Bolsonaro itu juga bertentangan dengan imbauan para pakar kesehatan masyarakat global yang disegani.
Baik Trump maupun Bolsonaro telah mempertaruhkan kepresidenan mereka pada ekonomi, dan keduanya tahu setiap penurunan besar bisa menjadi bencana bagi peluang mereka untuk terpilih kembali.
Pandangan Bolsonaro menarik perhatian dan kritik dari sekutu dan musuh.
"Pada saat yang serius ini, negara ini membutuhkan kepemimpinan yang serius, bertanggung jawab dan berkomitmen untuk kehidupan dan kesehatan warganya," kata pemimpin Senat Davi Alcolumbre dalam sebuah pernyataan.
Baca Juga: Para Petinggi Negara Brasil Bertumbangan karena Corona
"Kami menganggap pandangan yang diungkapkan oleh Presiden sebagai hal serius ... Sekarang, lebih dari sebelumnya, negara mengharapkan transparansi, keseriusan, dan tanggung jawab pemimpin eksekutif."