Suara.com - Jalanan di India lengang, begitupun pekerjaan konstruksi yang biasanya ada di mana-mana. India lockdown selama 3 pekan sejak Rabu (25/3/2020) dini hari.
Negara dengan jumlah penduduk 1,339 miliar orang itu dianggap cukup cepat menetapkan lockdown. Per Rabu (25/3/2020) telah ditemukan 492 kasus dengan tingkat kematian 9 jiwa.
Mengalihbahasakan dari CNN, Perdana Menteri Narendra Modi memerintahkan lockdown secara nasional selama 21 hari. Artinya, semua orang India harus tetap berada di rumah, semua layanan, trasnportasi umum, mal, hingga pasar ditutup.
Meskipun sudah lockdown, banyak peneliti yang mempertanyakan kebijakan India. Hal ini disebabkan karena India tidak banyak melakukan tes. Sementara kesiapan lockdown nasional juga dianggap masih berisiko.
Baca Juga: Wafat Sepulang dari Prancis, Warga Solo Dimakamkan seperti Pasien Corona
Minimnya Tes
Sejauh ini, India baru melakukan tes pada 15.000 orang dengan populasi lebih dari 1 miliar jiwa. Berbeda dengan Korea Selatan yang menguji lebih dari 300 ribu orang dari 52 juta jiwa.
Profesor kedokteran di Christan Medical Collage, Vellora, O.C Abraham menyatakan bahwa India seharusnya melakukan tes secara ekstensif terlebih dahulu.
Direktur Jenderal Dewan Riset Medis India, Balram Bhargava malah menegaskan, bahwa tes secara acak tidak diperlukan. Dengan minimnya tes, maka orang-orang yang tidak terdeteksi akan memungkinkan memperbesar dampak corona.
Bisa dilihat dari 6 kasus pertama di India, mereka adalah orang-orang yang pernah melancong ke Italia. Kelompok yang demikian malah bisa memperpanjang rantai penularan ke warga lokal.
Baca Juga: Dampak Wabah Corona, PAN Tunda Pelantikan Kepengurusan Periode 2020-2024
Bellur Prabhakar, seorang profesor mikrobiologi dan imunologi di University of Illinois menyatakan ada beberapa alasan mengapa jumlah kasus yang dikonfirmasi di India tidak sesuai dengan tren internasional.
"Bisa jadi karena kurangnya pengujian, semakin tumbuh ketidaktahuan (berapa jumlah pasien positif) maka akan tetap bahagia," kata Prabhakar pada CNN.
Kondisi India
Meskipun belum jelas alasan jumlah kasus India relatif rendah, seperti halnya dengan negara lain, namun menurut banyak peneliti penyebaran Covid-19 di India akan sulit dikendalikan.
Pemerintah memang mengimbau untuk mengisolasi diri dan cuci tangan sesering mungkin pada warga. Namun kondisi di beberapa daerah di India perkara cuci tangan dan tetap di rumah bukanlah hal mudah.
Pada data 2011, pemerintah India memperkirakan ada sekitar 29,4 % orang perkotaan tinggal di perumahan kumuh dan semi-permanen. Rumah-rumah kumuh itu biasanya tidak memiliki kamar mandi, bahkan air bersih.
Beberapa penduduk daerah kumuh mengambil air dari keran umum. Ada juga yang mengumpulkan air dalam kaleng dan ember dari kapal tanker yang mengunjungi daerah mereka beberapa kali dalam seminggu.
BACA JUGA: 5 Strategi Melawan Virus Corona, Sukses di Berbagai Negara
"Di mana mereka akan menemukan air dan sabun yang mereka butuhkan? Saya pikir hampir mustahil untuk mengimplementasikan rencana itu," ujar Prabhakar seperti yang dikutip dari CNN.
Bellur Prabhakar menambahkan, bahwa memberlakukan lockdown seperti yang dinyatakan oleh Perdana Menteri Modi akan sangat sulit. Hal ini karena rumah padat penduduk di India, per satu kilometer persegi diisi dengan 455 orang. Padahal standar Bank Dunia adalah 60 orang per 1 kilometer.
"Social distancing saja di negara seperti India akan sangat-sangat menantang," kata Prabhakar.
"Kita mungkin bisa melakukannya di daerah perkotaan, tetapi di permukiman kumuh perkotaan, saya tidak punya gambaran bagaimana itu bisa dilakukan," tambahnya.
Tantangan Lockdown
Masalah ekonomi adalah hal yang paling terdampak dalam keputusan lockdown suatu negara pun untuk India.
Menurut data statistik terbaru, ada sekitar 400 juta orang di india yang bekerja tidak teratur. Mulai dari wiraswasta, pekerja lepas, kuli, ART, dan lain sebagainya. Mereka mendapat bayaran ketika bekerja. Lalu bagaimana jika ada lockdown dan mereka tidak bisa bekerja?
Kementerian Tenaga Kerja dan Ketenagakerjaan telah mengeluarkan pemberitahuan kepada perusahaan, meminta mereka untuk tidak memberhentikan karyawan atau memotong gaji saat lockdown.
"Di masa krisis seperti ini, saya meminta dunia bisnis dan segmen masyarakat berpenghasilan tinggi untuk sebanyak mungkin, menjaga kepentingan ekonomi semua orang yang menyediakan layanan kepada mereka," kata Perdana Menteri, Narendra Modi.
"Dalam beberapa hari mendatang adalah mungkin orang-orang ini tidak dapat datang ke kantor atau rumah Anda. Dalam kasus seperti itu, perlakukan mereka dengan empati dan kemanusiaan, jangan kurangi gaji mereka," ujat Modi.
"Selalu ingat bahwa mereka juga perlu berada di rumah untuk melindungi keluarga mereka dari penyakit," tambahnya.
BACA JUGA: 4 Hukuman bagi Pelanggar Lockdown, dari Denda sampai Penjara
Kepala menteri negara bagian Uttar Pradesh utara Yogi Adityanath mengatakan bahwa masing-masing dari 1,5 juta pekerja upahan harian di negaranya akan diberikan 1.000 rupee (Rp 214.500).
Bantuan itu akan dikirim melalui transfer langsung untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
"Itu mungkin berakhir dengan menyelamatkan banyak nyawa jika pemerintah pada dasarnya memiliki program untuk mengeluarkan gaji kepada semua pekerja harian dan orang-orang yang berpenghasilan di bawah tingkat pendapatan tertentu," kata Prabhakar.
Tetapi bahkan jika pihak berwenang dapat menggelar bantuan keuangan untuk pekerja berupah harian, tidak semua orang akan mendapat fasilitas tersebut
Menurut perkiraan pemerintah, ada sekitar 102 juta orang yang tidak memiliki akses kesejahteraan lockdown dan layanan sosial.
Kesulitan lain yang dihadapi India adalah sistem kesehatan yang tidak memadai. "Sektor kesehatan publik sangat tidak memadai," kata Prabhakar pada CNN.
Seperti kata Swaminathan dari WHO, sistem kesehatan di India cukup bervariasi.
Menurut Christian Medical College Abraham, hanya ada sekitar 50 hingga 60 orang spesialis di India yang telah menerima pelatihan terstruktur formal dalam menangani penyakit menular.
Bank Dunia juga menyatakan, bahwa India hanya membelanjakan sekitar 3,66% dari PDB untuk kesehatan - jauh di bawah rata-rata dunia 10%.