Suara.com - Dokter Spesialis Paru RSUP Persahabatan, dr. Erlina Burhan memberi saran kepada Fadjroel Rahman, Juru Bicara Presiden RI untuk tidak membeli lagi tes cepat atau rapid test virus corona baru (COVID-19) yang berbasis serologi.
Menurut dr. Erlina, alat itu hanya mendeteksi antibodi saja. Tidak akan efektif bagi orang yang tidak memiliki gejala COVID-19.
Hal ini disampaikannya dalam acara Indonesia Lawyers Club bertajuk "Corona: Simalakama Bangsa Kita" yang tayang pada Selasa (24/3/2020) malam.
Awalnya Fadjroel menjelaskan bahwa pemerintah pusat telah membagikan beberapa alat pelindung diri (APD) serta masker dan rapid test kepada pemerintah DKI Jakarta.
Baca Juga: APD Langka, Tenaga Medis di Aceh Pakai Mantel Hujan Tangani Pasien
"Kalau masker itu tadi dijanjikan oleh jubir BUMN, Arya Sinulingga akan ada 4 juta masker. Kalau untuk rapid test untuk DKI Jakarta kita serahkan 100 ribu. Jadi, ada tiga jenis yang kita serahkan untuk Jakarta, yaitu APD 40.000, kemudian rapid test 100 ribu," kata Fadjroel.
"Rapid test-nya sudah dibeli ya, Pak?" tanya dr. Erlina.
"Udah dibeli," jawab Fadjroel.
Menurut dr. Erlina rapid test berbasis serologi yang telah dibeli oleh pemerintah bukan untuk diagnosis. Namun alat itu dipakai untuk melihat antibodi.
"Rapid test yang serologi yang sudah dibeli itu bukan diagnosis. Karena saya dengar masyarakat panik. Semua pada pesen rapid test online. Bahkan saya denger ada suatu perumahan yang iuran mau beli rapid test," ungkap dr. Erlina.
Baca Juga: Beredar di WhatsApp, Pengumpulan Donasi Uang RSUD Kota Yogyakarta Hoaks
Ia menjelaskan rapid test berbasis serologi tidak dipakai untuk diagnosis. Tapi untuk melihat apakah sudah ada antibodi dalam tubuh.
Erlina melanjutkan, "Nah, diingat lagi antibodi ini terbentuk kalau ada gejala. Kalau orang tidak bergejala diperiksa rapid test, negatif".
"Seolah-olah negatif. Itu kita sebut negatif palsu. Nanti masyarakat kadung bahagia bahwa dia negatif. Lalu bikin lagi keramaian, pesta, jalan-jalan padahal dalam masa inkubasi, nanti ketika bergejala menularkan kepada yang lain. Jadi tidak habis-habisnya ini," imbuhnya.
Dokter Spesialis Paru menyarankan pemerintah untuk tidak lagi membeli alat tersebut.
"Kalau saya boleh saran Pak Fadjroel, ini karena sudah kadung dibeli ke depannya jangan lagi deh," kata dr. Erlina.
"Saya enggak setuju bahwa tadi dikatakan seluruh masyarakat Indonesia akan diperiksa, enggak bisa hanya yang bergejala. Tapi kan harus dikonfirmasi lagi dengan PCR (Polymerase Chain Reaction--red)," tambahnya.
Menurut dr. Erlina, langkah yang diambil pemeritah dengan membeli rapid test berbasis serologi ini memakan waktu panjang dan boros biaya.
"Yang perlu diperbanyak adalah rapid test PCR. Itu yang murah banyak sekali sekarang. Dan itu bisa memeriksa sekali banyak. Bukan satu-satu," ujarnya.
Rapid test berbasis serologi, kata dr. Erlina, harus dikerjakan satu-satu meskipun hanya butuh waktu 15 menit.
"Kalau PCR rapid test ini keluar hasil satu jam dan hasil yang banyak," ucapnya.
Ia menambahkan, "Perbanyaklah rapid test tapi rapid test PCR. Bukan yang serologi. Saya dengar harganya Rp 300 juta mesinnya".