5 Strategi Melawan Virus Corona, Sukses di Berbagai Negara

Dany Garjito Suara.Com
Senin, 23 Maret 2020 | 07:05 WIB
5 Strategi Melawan Virus Corona, Sukses di Berbagai Negara
Ilustrasi melawan corona. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Terdapat strategi untuk melawan virus corona yang sudah terbukti sukses di berbagai negara. Indonesia bisa memilih strategi yang paling efektif sesuai kondisi yang ada.

Laporan dari BBC Indonesia -- Jaringan Suara.com, setidaknya terdapat lima strategi melawan dan mengendalikan virus corona (COVID-19).

Ya, sejumlah negara berhasil mengendalikan penyebaran virus - yang sudah menginfeksi lebih dari 200 ribu orang dan menewaskan lebih dari 8.000 orang lainnya.

Baca Juga: 5 Obat Ini Berpotensi Melawan Virus Corona, dari Klorokuin sampai Losartan

"Ada beberapa negara yang berhasil mengambil langkah untuk mengendalikan wabah ini, dan menurut saya kita bisa belajar dari mereka," kata ahli penyakit menular Tolbert Nyenswah, Profesor di Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health.

"Di China kasus sudah berkurang, tapi langkah sangat agresif yang mereka lakukan tak mudah ditiru oleh negara-negara demokratis. Di beberapa negara lain telah melakukan langkah berbeda yang sama agresifnya, dan mereka berhasil," tambahnya.

Menurut Prof Nyenswah, hasil-hasil di negara-negara ini tidak hanya tergantung dari lokasi geografis atau jumlah penduduk (sekalipun itu memainkan faktor besar dan bisa sangat berpengaruh), tetapi lebih banyak dari kebijakan yang inovatif, kesiapan dan respons yang cepat.

Berikut lima strategi melawan virus corona yang sukses di sejumlah negara!

1. Tes, tes dan lebih banyak tes

Baca Juga: Bukan Obat Pencegah Corona, Pemerintah Minta Publik Tak Borong Klorokuin

Situasi penanganan virus corona di salah satu rumah sakti di Italia, dokter mengenakan alat pelindung diri lengkap dan masker. (PIERO CRUCIATTI / AFP)
Situasi penanganan virus corona di salah satu rumah sakti di Italia, dokter mengenakan alat pelindung diri lengkap dan masker. (PIERO CRUCIATTI / AFP)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan para ahli yang ditanya oleh BBC Mundo sepakat bahwa deteksi cepat merupakan faktor utama dalam menahan penyebaran pandemi.

"Kita tak bisa mengambil langkah atau tahu dampak sesungguhnya dari virus ini jika kita tak tahu berapa orang yang telah terinfeksi," kata Nyenswah.

BACA JUGA: 5 Obat Ini Berpotensi Melawan Virus Corona, dari Klorokuin sampai Losartan

Krys Johnson, pakar penyakit menular di Temple University, Amerika Serikat, sepakat bahwa faktor ini membuat hasil berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.

Pengetesan memperlihatkan hasil yang lebih baik, sementara di tempat lain kasus meningkat dengan pesat.

"Korea Selatan mengetes lebih dari 10.000 orang sehari yang berarti orang yang mereka tes dalam dua hari lebih banyak daripada orang yang dites di Amerika dalam sebulan," katanya.

Dalam jumpa pers hari Senin (16/03), Direktur WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa tes bagi siapapun yang punya gejala merupakan "tulang punggung" bagi penghentian penyebaran pandemi ini.

Namun ia mengingatkan, banyak negara yang terus melakukan pemeriksaan hanya terhadap pasien yang punya gejala serius. Ini bisa membuat catatan statistik keliru bahkan membiarkan orang dengan gejala ringan, padahal terinfeksi, terus menyebarkan virus.

2. Isolasi mereka yang terinfeksi

Ruang Isolasi di Bandara Ahmad Yani Kota Semarang. [Suara.com/Dafi Yusuf]
Ruang Isolasi di Bandara Ahmad Yani Kota Semarang. [Suara.com/Dafi Yusuf]

Johnson berkata bahwa pemeriksaan kesehatan tak hanya berujung pada isolasi mereka yang sakit dan mencegah virus berkembang lebih luas, tapi juga membuka jalan untuk mendeteksi kemungkinan infeksi yang belum berkembang menjadi gejala.

"Korea Selatan dan China telah melakukan kerja luar biasa dalam melacak, mengetes, dan mengendalikan warga mereka," katanya.

BACA JUGA: Lockdown Tak Maksimal, Tim Palang Merah China Kewalahan Bantu Italia

Menurutnya, China sangat waspada dalam mendeteksi kasus-kasus potensial yang bisa jadi merupakan salah satu penyebab turun drastisnya infeksi baru yang dilaporkan.

"Orang demam dikirim ke 'klinik demam' dan dites untuk flu dan covid-19. Ketika hasilnya positif covid-19, mereka diisolasi di tempat yang disebut 'hotel karantina' untuk mencegah penularan ke anggota keluarga," kata Johnson.

Tak seperti China, di Taiwan, Singapura dan Hong Kong, sekalipun tak ada situs karantina, aturan yang ditegakkan adalan mengatur agar orang tetap berada di rumah dengan menerapkan denda yang kadang besarnya bisa mencapai Rp47 juta.

Namun menurut Nyenswah, melacak potensi infeksi merupakan landasan utama dari strategi ini.

Ia mengingatkan bahwa pemerintah Taiwan dan Singapura mengembangkan strategi untuk melacak orang yang kontak dengan pasien yang sakit.

Siasat itu dilakukan mulai dari melakukan wawancara hingga melihat kamera keamanan dan catatan perjalanan, hotel, serta pengujian kepada mereka yang mungkin terpapar.

"Contohnya, pada tanggal 12 Maret, di Hong Kong diduga ada 445 kasus dan dilakukan 14.900 tes di antara orang yang kontak untuk mendeteksi kemungkinan infeksi. Hasilnya, diketahui 19 orang positif," katanya.

3. Persiapan dan reaksi cepat

Sejumlah petugas gabungan dari Dishub dan TRC BPBD Yogyakarta menyemprot desinfektan di lingkungan Taman Parkir Senopati, Rabu (18/3/2020). [Suarajogja.id/M Ilham Baktora]
Sejumlah petugas gabungan dari Dishub dan TRC BPBD Yogyakarta menyemprot desinfektan di lingkungan Taman Parkir Senopati, Rabu (18/3/2020). [Suarajogja.id/M Ilham Baktora]

Menurut Nyenswah, yang pernah melawan Ebola di Afrika Barat, salah satu elemen dasar untuk pengendalian virus adalah bertindak cepat sebelum penularan meluas di komunitas.

"Negara seperti Taiwan dan Singapura memperlihatkan langkah cepat untuk mendeteksi dan mengisolasi kasus baru. Ini bisa jadi faktor penentu dalam mengendalikan penyebaran," katanya.

BACA JUGA: Singapura Larang Pendatang Asing Masuk dan Transit, Efektif Mulai Besok

Dalam artikel yag diterbitkan di Journal of the American Medical Association, respons di Taiwan memperlihatkan bahwa pengendalian mereka berasal dari cara yang telah mereka kembangkan untuk peristiwa sejenis. Tahun 2003 mereka membuat komando terpusat untuk mengendalikan epidemi.

Badan ini, yang mencakup beberapa agensi penyelidikan dan pemerintahan, dibentuk sesudah krisis yang disebabkan oleh SARS. Sejak itu mereka melakukan berbagai langkah persiapan dan peyelitikan untuk menanggapi kemungkinan epidemi.

"Persiapan dan langkah cepat sangat penting dalam tahap awal wabah. Di Eropa dan Amerika Serikat, kita menyaksikan kurangnya persiapan dan lambatnya tanggapan," kata Nyenswah.

Sebelum dipastikan terjadinya penularan antara manusia di pertengahan Januari, Taiwan telah mulai memeriksa semua penumpang dari Wuhan, tempat pertamakali wabah terjadi.

Hong Kong mulai menerapkan deteksi temperatur mulai tanggal 3 Januari dan menerapkan karantina 14 hari bagi turis yang masuk wilayah mereka.

Setiap dokter diinstruksikan melaporkan semua pasien yang demam atau punya masalah pernapasan akut serta sejarah bepergian ke Wuhan.

"Sekali lagi, faktor waktu adalah kunci," katanya.

4. Jaga jarak

Sejumlah penumpang duduk di dalam gerbong kereta rel listrik (KRL) Commuterline di Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (21/3).   [ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra]
Sejumlah penumpang duduk di dalam gerbong kereta rel listrik (KRL) Commuterline di Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (21/3). [ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra]

Menurut Nyenswah, ketika penularan pertama dilaporkan di sebuah komunitas, langkah pencegahan sudah sulit diterapkan. Maka langkah berikutnya, seperti menjaga jarak (social distancing), lebih efektif untuk mencegah pihak yang paling rentan terhadap penularan.

"Sekali ada penyakit ini di satu negara, langkah pencegahan tidak lagi tepat. Anda harus mulai mengambil langkah yang tepat atau kehilangan kemungkinan penghentian yang efektif terhadap wabah ini," katanya.

BACA JUGA: Jika Lockdown Diterapkan, 5 Profesi Ini yang Paling Merasakan Imbasnya

Menurutnya, kecepatan penerapan instruksi untuk jaga jarak seperti di Hong Kong dan Taiwan adalah kunci untuk mengurangi penularan.

Hong Kong telah meminta orang dewasa untuk bekerja dari rumah sejak akhir Januari serta menutup sekolah dan kumpul-kumpul.

Langkah ini ditiru di banyak negara, tapi menurut Johnson, kuncinya adalah seberapa cepat keputusan itu dibuat.

Singapura misalnya tak pernah menutup sekolah karena adanya dampak ekonomi bagi keluarga yang punya anak kecil.

Strategi yang dilakukan, menurut koran The Straits Times adalah mengetes dan mengawasi murid dan pengajar setiap harinya.

5. Mempromosikan gaya hidup higienis

Ilustrasi hand sanitizer. [Shutterstock]
Ilustrasi hand sanitizer. [Shutterstock]

Sejak wabah virus corona mulai dilaporkan terjadi di luar China, WHO berkeras menyarankan untuk jaga jarak, mencuci tangan secara rutin dan gaya hidup higienis guna mencegah penyebaran virus.

"Banyak negara di Asia yang belajar dari pengalaman SARS di tahun 2003. Di sana juga ada kesadaran menjalankan hidup higienis tak hanya untuk menghindar penyakit, tapi juga agar tak menulari orang lain. Sangat penting dalam kasus ini," kata Nyenswah.

BACA JUGA: 4 Hukuman bagi Pelanggar Lockdown, dari Denda sampai Penjara

Di Taiwan, Singapura dan Hong Kong, banyak tersedia cairan anti bakter di jalan. Pemakaian masker juga biasa dilakukan, bahkan sebelum wabah virus corona.

Pemerintah Taiwan mempromosikan cuci tangan lewat internet sembari memperkuat mekanisme pembersihan jalan dan tempat-tempat umum.

"Ini satu faktor yang kadang terlupa di tengah langkah-langkah drastis yang sedang diambil. Menurut saya langkah-langkah yang dilakukan oleh warga seperti cuci tangan terbukti merupakan salah satu yang paling efektif," kata Nyenswah.

Itulah lima strategi mengendalikan virus corona yang sukses di berbagai negara!

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI