Suara.com - Sejumlah sekolah meniadakan aktivitas belajar mengajar di sekolah selama dua pekan sebagai bentuk pencegahan penyebaran virus Corona (Covid-19). Dengan begitu, pihak sekolah pun membuat kebijakan belajar dari rumah dengan memanfaatkan teknologi.
Online learning, salah satu istilah yang menggambarkan sistem belajar secara virtual di mana guru tetap mengajar melalui sambungan video ataupun media lainnya. Kebijakan itu mulai aktif pada Senin, 16 Maret 2020.
Akan tetapi, kebijakan online learning itu tidak seluruhnya mendapatkan reaksi positif baik dari orang tua maupun siswanya sendiri. Bahkan mereka mengadukannya kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Pertama, soal kemampuan akses dan kuota internet siswa yang berbeda-beda. Salah satu pengadu menceritakan bahwa dirinya terpaksa tetap membuat kerumunan di rumah karena teman-temannya yang memiliki hambatan dari segi kuota dan akses internet. Hal tersebut tentu ke luar dari tujuan kebijakan awalnya yang mendukung penjagaan jarak antara satu sama lain atau social distance.
Baca Juga: KPAI Sebut Satu TK di Jakarta Belum Libur, Ini Kata Disdik DKI
"Akhirnya, jadi bertemu banyak orang juga, padahal niatnya merumahkan anak-anak agar tidak berkontak dengan banyak orang, yang justru terjadi malah terpaksa belajar berkelompok karena masalah kuota dan akses internet," demikian yang diceritakan Komisioner KPAI Retno Listyarti melalui keterangan tertulisnya, Kamis (19/3/2020).
Kemudian cerita pengadu lainnya dari Jakarta mengatakan kalau gurunya memberikan tugas untuk membuat film pendek dengan maksimal pengerjaannya dua hari. Setelah selesai, film pendek itu harus diunggah di media sosial dan harus mendapatkan minimal 200 like dari penonton.
Katanya, membuat film pendek yang melewati proses editing tidak bisa diselesaikan dalam waktu dua hari. Apalagi tugas yang ia terima bukan hanya itu saja. Ia juga mendapatkan tugas dari guru lain dan harus dikumpulkan pada hari itu juga.
Berbeda dengan itu, seorang siswa kelas X di salah satu SMA di Kuningan, Jawa Barat mengeluh karena tensi darahnya naik karena mendapatkan banyak tugas dan dikerjakan menggunakan telefon genggam. Siswa itu merasa mendapatkan tugas online yang lebih berat bobotnya ketimbang tugas di sekolah.
"Sejak belajar di rumah tugasnya melebihi seperti sekolah, sampai tensi saya naik bapak, ibu, 180/100, padahal usia saya masih 16 tahun, tapi anak seeumuran saya sudah kena darah tinggi, tensi saya naik karena saya menghadap ke telepon genggam terus selama berjam-jam untuk mengerjakan tugas-tugas,” ujarnya.
Baca Juga: KPAI Minta Sekolah Diliburkan, Pemkot Bekasi: Kami Tidak Meliburkan
Pengadu dari Jakarta menceritakan bahwa gurunya memberikan tugas membuat film pendek dengan waktu hanya 2 hari dan harus diupload dengan minimal mendapatkan 200 like. Padahal membuat film sampai proses edit tidak mungkin 2 hari, apalagi dengan kondisi guru bidang studi lain juga memberikan berbagai tugas yang bahkan wajib di selesaikan hari itu juga.
Selain siswa, orangtua pun ada yang mengadu akibat banyaknya tugas yang diberikan guru kepada anaknya. Seperti yang disampaikan salah satu pengadu bahwa anaknya sudah berada di depan laptop untuk mendapatkan tugas dari gurunya pada pukul 06.00 WIB. Dari situ, guru-guru lain pun turut memberikan tugas dengan waktu menyelesaikannya sangat pendek.
Saking padatnya, sang anak tidak sempat sarapan hingga baru menyentuh makanan pada pukul 13.00 WIB. Pengadu tersebut pun khawatir kalau imun atau kekebalan sang anak akan menurun akibat kelelahan dan pola makan yang berubah.
Kemudian pengadu yang terakhir melaporkan kalau sang anak duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar (SD), namun setiap harinya sang anak harus mengerjakan 40 sampai 50 soal. Seorang siswa kelas VII SMP juga melaporkan hal yang sama. Ia harus mengerjakan soal mulai pukul 07.00 sampai 17.00 WIB. Kalau dihitung, siswa SMP tersebut harus mengerjakan 255 soal dalam satu hari.
Mendengar beragam laporan tersebut, Retno pun mengingatkan kepada para guru untuk bisa memanfaatkan online learning untuk meningkatkan kreativitas sang anak, bukan malah memberatkan. Ada baiknya apabila guru-guru lebih meningkatkan interaksi dengan siswa seperti halnya biasa dilakukan di sekolah.
Kemudian para guru juga bisa memberikan tugas yang tidak memberatkan siswa. Menurutnya belajar secara online itu bisa dimanfaatkan tenaga pengajar sebagai kesempatan menumbuhkan rasa ingin tahu anak, memotivasi, mempererat hubungan dan saling membahagiakan.
Dengan kondisi wabah virus Corona (Covid-19) tengah menyerang seperti sekarang ini, kompetensi akademik bukanlah menjadi prioritas lagi. Justru yang menjadi prioritas ialah kompetensi untuk bertahan hidup dan saling mengingatkan agar selalu menjaga kebersihan diri serta lingkungan.
Selain itu Retno juga menyampaikan rekomendasi kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah untuk tidak perlu menuntut para tenaga pengajar melaporkan proses pembelajaran setiap harinya. Hal itu disampaikan Retno karena akan berimbas kepada penekanan dari guru kepada siswanya.
"Kalau guru tidak ditekan maka sang guru juga tidak akan menekan muridnya juga. Guru dan murid harus tetap dijaga agar terus bahagia dan sehat," pungkasnya.