Suara.com - “Tak ada berita seharga nyawa”, satu prinsip utama jurnalis tersebut semakin relevan ketika kekinian wabah virus corona Covid-19 tengah melanda dunia, termasuk Indonesia.
Sebab, ketika banyak warga mengurangi aktivitas di luar rumah dan menghindari tempat-tempat yang bisa menjadi medium penyebaran virus corona Covid-19, jurnalis justru sebaliknya.
Tak sedikit jurnalis yang tetap berada di luar rumah, demi mendapatkan informasi dan meneruskannya dalam bentuk berita kepada publik.
Meski sudah berupaya menjaga kesehatan dan diri, ada pula jurnalis yang merasakan sejumlah keluhan mirip gejala Covid-19.
Baca Juga: Pasien Positif Corona di Banten Bertambah 4, Total Jadi 12 Orang
Hal itu setidaknya terjadi terhadap satu jurnalis yang berbasis di Jakarta. Kekinian, ia berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) virus corona.
Mulai hari Rabu (18/3/2020), ia melakukan isolasi mandiri di rumah, sampai ada tes lebih lanjut yang bisa membuktikan status kesehatannya.
Dalam situasi terisolasi tersebut, ia menuliskan sejumlah catatan harian dan setuju untuk dipublikasikan.
“Saya menuliskan pengalaman saya ini agar bisa menjadi pelajaran bagi publik untuk tetap waspada dan optimistis di tengah wabah virus corona,” kata sang jurnalis tersebut.
Berikut catatannya.
Baca Juga: Ribuan Umat Muslim Hadiri Ijtima Dunia di Gowa, Abaikan Peringatan Corona
***
“Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi Positif Virus Corona COVID-19”, kira-kira begitu kabar yang disampaikan pemerintah melalui media massa, Sabtu malam, 14 Maret 2020.
Malam itu juga, saya memeriksa galeri foto dalam ponsel. Ternyata, ada foto pertemuan saya saat melakukan kerja-kerja jurnalistik dengan Menhub Budi Karya Sumadi di gedung Kementerian Perhubungan.
Saya cek metadata foto itu, ternyata dipotret tanggal 3 Februari 2020—sudah lama kalau dihitung dari masa inkubasi virus corona yang katanya akan bereaksi paling lama 14 hari setelah terinfeksi.
Sampai di situ, saya merasa cukup lega. Sebab artinya, saya berhasil melewati masa inkubasi 14 hari terhitung sejak bertemu untuk mewawancarai sosok yang belakangan berstatus positif virus corona.
Tapi saya belum puas. Saya lantas kembali memeriksa galeri foto pada ponsel. Ada sebuah foto dan video saat saya meliput sebuah kafe di kawasan Jakarta Selatan, tertanggal 3 Maret 2020.
Kafe ini diyakini sebagai tempat satu warga Indonesia bertemu satu warga negara Jepang, yang belakangan keduanya berstatus positif virus corona.
Rasa lega yang sempat bergelayut dalam pikiran saya seketika hilang. Pikiran buncah.
Bukan apa-apa, sejak sebelum ada pengumuman pemerintah tentang Menhub Budi Karya terpapar Covid-19, dada saya memang sudah terasa sesak ketika tidur terletang.
Dada saya terasa terganjal dahak namun tidak batuk, tidak lemas. Satu-satunya yang membuat saya optimistis adalah, semua masih berjalan seperti biasa ketika beraktivitas melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Ah, mungkin gara-gara berkumpul bersama teman-teman hingga larut malam dua pekan lalu, pikirku—untuk menenangkan diri—sambil mememinum Avocel, obat influenza.
***
Hari masih pagi, Minggu 15 Maret, ketika dahak dalam tenggorokan saya mulai mudah dikeluarkan. Saya pikir, obat influenza yang semalam diminum, sangat manjur.
Badan saya terasa enteng, sesak napas mulai hilang, dan saya lanjut bekerja dari rumah alias work from home, sesuai perintah kantor.
Tapi, Senin 16 Maret, ketika malam, sesak itu kembali datang, lagi-lagi saat saya hendak tidur. Avocel kembali saya teguk dan tidur bisa nyaman.
Esoknya, Selasa 17 Maret, pukul 10.00 WIB, saya mengajak kakak dan teman yang kebetulan juga sedang kerja dari rumah, untuk memeriksa kesehatan.
Kakak saya medical check up (MCU) di klinik rujukan kantornya. Sementara saya dan teman, memeriksakan kesehatan di salah satu rumah sakit rujukan pemerintah, kawasan Jakarta Selatan.
Rumah sakitnya tak jauh dari Kebun Binatang Ragunan, kami tiba di sana sekitar pukul 11.00 WIB.
Saat akan masuk rumah sakit, tangan kami disemprot hand sanitizer, dahi kami diperiksa menggunakan thermal gun, hasilnya saya 36,2 dan teman saya 36, katanya ini normal.
Karena teman saya hanya MCU, saya juga ikut seperti itu—jadi kami tidak melalui posko screening COVID-19.
***
Poli MCU itu letaknya di lantai 5. Rumah sakit tempat kami periksa kesehatan cukup ketat pengawasannya terhadap orang yang lalu lalang.
Pintu lift pun hanya boleh dioperasikan oleh satpam yang menggunakan sarung tangan dan masker.
Sampai di Poli MCU, saya mengungkapkan riwayat diri—tentang pertemuan dengan Menhub Budi Karya maupun peliputan di kafe.
Sang suster langsung mencatat riwayat itu dalam sebuah formulir untuk pasien COVID-19. Sementara teman saya tetap lanjut MCU.
Kemudian, suster itu mengarahkan saya untuk turun ke Poli Paru di lantai 2 untuk konsultasi dengan dokter spesialis paru-paru. Kala itu, waktu sudah pukul 12.00 WIB.
Sebelum masuk ke ruang Poli Paru, saya kembali menjalani cek tekanan darah, hasilnya normal. Saya dipersilakan duduk menunggu bersama kurang lebih 20an pasien lain.
Lebih kaget lagi, di sini tak ada istilah social distance, padahal ruang tunggu terbilang cukup luas.
Walau semua memakai masker, banyak pasien duduk berjejer di kursi taman berkapasitas 4 orang.
Yah, saya pikir, sosial distance sepertinya memang harus diatur oleh diri sendiri.
***
Saya kemudian berbincang dengan salah satu pasien yang berdiri, mungkin berumur 50an tahun. Saat saya ajak bicara, dia mengaku sudah menunggu sejak pukul 09.00 WIB.
Dia mengakui, awalnya diperiksa di ruang screening yang terletak pada lobi rumah sakit. Wah, dalam hati saya berkata, bapak ini saja menunggu dari jam 9 pagi belum diperiksa.
Benar saja, saya baru dipersilakan masuk ke Poli Paru sekitar pukul 16.00 WIB. Ternyata hanya ada satu dokter di Poli Paru saat itu.
Dokter ini kemudian menanyakan kembali riwayat diri. Saya lantas menjelaskan persis seperti yang terteta dalam berkas tersebut.
"Oke, silahkan nanti rontgen di radiologi, tes darah, dan tes swab ya," kata dokter itu.
Setelah itu, saya menuju meja pendaftaran Poli Paru. Di sana, saya mengerjakan sejumlah surat persetujuan, di antaranya: surat penyataan bahwa saya setuju akan di-swab; dan, surat persetujuan spesimen tes swab saya akan dijadikan bahan penelitian.
Kemudian, ada pula surat meminta persetujuan saya agar semua data bisa dicatat dalam lembar form pasien dalam pengawasan alias PDP. Tentu saja semuanya saya setujui.
Namun, suster itu menyatakan tes swab belum bisa dilakukan hari itu. Sebab stok alat yang digunakan untuk cek virus, sudah habis.
"Silakan tuliskan nomor HP bapak, nanti kami akan menelepon kalau dinas sudah mengirimkan lagi alatnya. Mungkin besok atau dua hari lagi, di sini sih bapak antrean nomor 7, tapi besok siapa duluan datang, dia yang akan duluan dicek," kata suster itu.
Saya sempat bertanya dalam hati, dalam pemberitaan, para menteri bahkan presiden dan wapres bisa langsung cek swab dan langsung diketahui hasilnya beberapa hari kemudian.
Kenapa di sini pasien harus menunggu karena stok alatnya habis? Ah saya lupa, saya cuma rakyat.
Karena berstatus PDP, saya disarankan untuk mengisolasi diri di rumah, menjaga jarak dengan keluarga di rumah selama 14 hari, dan tetap menjaga imunitas tubuh.
"Oke. saya sekarang PDP," ucap saya ketika itu.
***
Setelah dari sana, saya menuju ruang radiologi dan ruang laboratorium di lantai 1 untuk rontgen dan cek darah. Dua cek medis ini berjalan cepat, namun hasilnya perlu menunggu sekitar 2 jam.
Mengingat itu sudah pukul 19.00 WIB, saya memutuskan untuk pulang saja, hasilnya diambil besok sekalian tes swab. Lagipula, kakak dan teman saya sudah selesai pemeriksaan MCU sejak pukul 14.00 WIB.
Sebenarnya, rumah sakit ini menurut saya sudah benar menjalani prosedur, walau saya sebagai PDP tidak merasa terlalu diawasi (hanya diambil data saja).
Kuncinya saat akan menjalani tes COVID-19 adalah kesabaran yang sangat ekstra.
Jumlah dokter sedikit, membuat antrean sangat banyak, sehingga pasien menunggu terlalu lama di rumah sakit. Artinya, kerumuman antrean di RS itu bisa saja menjadi medium penyebaran virus.
Perihal tes swab, sampai Rabu 18 Maret pukul 13.00 WIB, saat saya menulis catatan ini, pihak rumah sakit itu belum menghubungi via telepon.
Saya masih mengisolasi diri dalam rumah, sampai ada kepastian apakah saya negatif, atau positif terinfeksi virus corona Covid-19.