Saya kemudian berbincang dengan salah satu pasien yang berdiri, mungkin berumur 50an tahun. Saat saya ajak bicara, dia mengaku sudah menunggu sejak pukul 09.00 WIB.
Dia mengakui, awalnya diperiksa di ruang screening yang terletak pada lobi rumah sakit. Wah, dalam hati saya berkata, bapak ini saja menunggu dari jam 9 pagi belum diperiksa.
Benar saja, saya baru dipersilakan masuk ke Poli Paru sekitar pukul 16.00 WIB. Ternyata hanya ada satu dokter di Poli Paru saat itu.
Dokter ini kemudian menanyakan kembali riwayat diri. Saya lantas menjelaskan persis seperti yang terteta dalam berkas tersebut.
Baca Juga: Pasien Positif Corona di Banten Bertambah 4, Total Jadi 12 Orang
"Oke, silahkan nanti rontgen di radiologi, tes darah, dan tes swab ya," kata dokter itu.
Setelah itu, saya menuju meja pendaftaran Poli Paru. Di sana, saya mengerjakan sejumlah surat persetujuan, di antaranya: surat penyataan bahwa saya setuju akan di-swab; dan, surat persetujuan spesimen tes swab saya akan dijadikan bahan penelitian.
Kemudian, ada pula surat meminta persetujuan saya agar semua data bisa dicatat dalam lembar form pasien dalam pengawasan alias PDP. Tentu saja semuanya saya setujui.
Namun, suster itu menyatakan tes swab belum bisa dilakukan hari itu. Sebab stok alat yang digunakan untuk cek virus, sudah habis.
"Silakan tuliskan nomor HP bapak, nanti kami akan menelepon kalau dinas sudah mengirimkan lagi alatnya. Mungkin besok atau dua hari lagi, di sini sih bapak antrean nomor 7, tapi besok siapa duluan datang, dia yang akan duluan dicek," kata suster itu.
Baca Juga: Ribuan Umat Muslim Hadiri Ijtima Dunia di Gowa, Abaikan Peringatan Corona
Saya sempat bertanya dalam hati, dalam pemberitaan, para menteri bahkan presiden dan wapres bisa langsung cek swab dan langsung diketahui hasilnya beberapa hari kemudian.