Suara.com - Sidang praperadilan jilid II kasus dugaan suap dan gratifikasi eks Sekretaris MA Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiyono dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto masuk ke tahap kesaksian.
Dalam sidang kesaksian di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Rabu (11/3/2020) sore, pihak termohon dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan saksi ahli yakni ahli hukum administrasi negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra.
Awalnya, kuasa hukum Nurhadi cs, Maqdir Ismail mempertanyakan sifat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 1 tahun 2018 tentang larangan praperadilan seorang buronan.
"Sifat memerintah dari SEMA ini imbauan atau kewajiban?" tanya Maqdir dalam persidangan.
Baca Juga: Status Buronan KPK, Tapi Nurhadi Serahkan 129 Bukti di Sidang Praperadilan
Riawan menjawab, SEMA nomor 1 tahun 2018 itu merupakan perintah untuk dipatuhi karena berisi larangan.
"Harus melihat substansinya dulu. Kalau subtansinya larangan maka sifatnya perintah bagi pengadilan," jawab Riawan.
Riawan melanjutkan, secara objektif SEMA itu bisa memiliki kekuatan hukum seperti peraturan perundang-undangan.
"Secara objektif ada materi SEMA ini berkarakter perundang-undangan, secara subjektif bisa dikatakan diskresi," ucapnya.
Namun jika dilihat secara subjektif, bagi peradilan ini bentuk pengarahan dari Mahkamah Agung yang harus dipatuhi oleh pengadilan, jika tidak ada sanksi yang dijatuhkan kepada pengadilan.
Baca Juga: Geledah Villa Diduga Buron Nurhadi, KPK Segel Moge Hingga Mobil Mewah
"Jadi ada seperti dalam konteks pemerintah juga, bagi pejabat lebih rendah tidak mengikuti pejabat lebih tinggi ada sanksi administrasi juga. SEMA ini seperti alat komunikasi para ketua pengadilan dan para hakim," kata Riawan menjelaskan.