Suara.com - Yones Douw, aktivis hak asasi manusia Papua menyatakan Kasus Paniai berdarah merupakan peristiwa yang sengaja direncanakan secara sistematis. Hal itu berdasarkan dengan rentetan peristiwa terjadi.
Ketua Departemen Keadilan dan Perdamaian Sinode Gereja Kingmi itu juga menganggap, Tragedi Paniai sebagai peristiwa brutal tanpa rasa kemanusiaan sedikit pun, karena juga menjadikan anak serta kaum perempuan menjadi korban tembak.
"Kasus Paniai terencana sistematis terkendali rapi dan terukur. Mengapa kita tulis seperti ini? Menganalisa seluruh rangkaian kronologis yang terjadi kasus Paniai," ujar Yones di kantor Amnesty International Indonesia, Jakarta Pusat pada Rabu (11/3/2020).
Yones dan aktivis lainnya meminta pemerintah transparan dalam menangani Tragedi Paniai. Ia juga mendesak agar pelaku pelanggaran hak asasi manusi segera diadili. Lantaran, permintaan tersebut sebagai rekomendasi aktivis kepada pemerintah.
Baca Juga: Mahfud MD Sebut Jaksa Agung Masih Mempelajari Kasus Berdarah Paniai
"Kami meminta kejuruan dan keterbukaan dari negara ini, segera tangkap dan adili pelaku kejahatan kemanusiaan. Kronologis sangat jelas kasus sangat jelas pelaku juga. Tapi negara ini sengaja menutupi kasus pelanggaran hak. Kasus Paniai saja ditutupi apalagi Kasus Nduga, Wamena, Wasior," ujar Yones.
Permintaan agar pemerintah segera menindaklanjuti ketetapan dari Komnas HAM yang menyatakan Tragedi Paniai sebagai bentuk pelanggaran HAM berat juga disampaikan oleh jurnalis senior Papua, Victor Mambor.
"Kasus Paniai sudah ditetapkan sebagai pelangaran HAM berat tapi kenapa negara ini masih tidak mau mengakui itu? Posisi negara pada orang Papua seperti apa? Apakah kami ini memang benar-benar dijajah Indonesia? Atau kami sama seperti orang-orang di luar Papua, bagian dari Indonesia juga," kata Victor.
"Setelah Komnas HAM ya lakukan seharusnya di pengadilan. Saya sebagai wartawan lihat tidak ada niat serius dari pemerintah Indonesia untuk kami di Papua," sambungnya.
Untuk diketahui, Komnas HAM menetapkan kasus berdarah Paniai, Papua yang terjadi pada 2014 sebagai pelanggaran HAM berat. Dalam penyelidikannya, Komnas HAM juga menemukan indikasi adanya tindakan menghalang-halangi proses hukum atau obstruction of justice.
Baca Juga: Kasus Paniai Berdarah, Jaksa Agung Periksa Berkas Hasil dari Komnas HAM
Anggota tim penyelidik yang juga menjabat sebagai Komisioner Komnas HAM Munafrizal Manan mengatakan, poin pertama yang mendorong adanya dugaan obstruction of justice adalah penghentian proses penyelidikan yang dilakukan Polda Papua.
Ia menuturkan, penghentian proses penyelidikan proses tersebut dilakukan tidak lama setelah kejadian tersebut. Munafrizal menjelaskan, Polda Papua sudah memulai proses penyelidikan setelah peristiwa itu terjadi pada 7-8 Desember 2014.
Namun seiring berjalannya waktu, proses penyelidikan itu justru terhenti. Padahal pada saat itu, tim penyelidikan gabungan dari pusat baru saja terbentuk.
"Mengapa kami sebut obstruction of justice? Jadi seolah-olah kasus ini ingin dibiarkan saja berlalu tanpa pertanggungjawaban," jelasnya.
Kemudian poin lain yang juga menjurus kepada adanya indikasi obstruction of justice adalah, hasil uji balistik berdasarkan informasi serta fakta yang diterima Komnas HAM itu tidak diyakini dilakukan secara kredibel.