Suara.com - Cuitan Fadli Zon kembali menuari reaksi, kali ini dari aktivis serikat buruh, Sarinah yang menagggap cuitan Fadli Zon merupakan sebuah kebohongan.
"Bohong, mesin tik itu dari Satre dititip ke Jusfiq, lalu ke Soemitro. Setelah itu bukunya laris, malah dilarang, yang jual (buku Pram) dipenjara 8 tahun."
Komentar Sarinah itu mulanya diunggah di akun twitternya, mengomentari cuitan Fadli Zon yang menyatakan:
"Tanpa ada mesin tik tentu karya-karyanya tak akan ada. Kalau tak salah, mesin tik itu diberikan oleh Presiden @HMSoeharto1921 melalui Soemitro ketika Pram diasingkan ke Pulau Buru. Ada jasa Pak Harto terhadap Pram."
Baca Juga: Jokowi Disebut Buatkan Ahok Ibu Kota Baru, Fadli Zon Beri Sindiran Menohok
Dihubungi melalui pesan singkat, Juru Bicara F-Sedar memastikan bahwa tidak ada jasa Soeharto pada keberhasilan karya-karta Pramoedya Ananta Toer.
"Andil Soeharto katanya memberikan izin (menulis). Itu enggak bisa dibilang andil, yang memenjarakan Pram kan Soeharto. Jadi tidak benar semua yang diklaim oleh Fadli Zon. Itu bohong," kata dia.
"Enggak ada sama sekali jasa Soeharto ke Pram, yang ada malah membuat Pram menderita." tegas Sarina.
Persoalan mesin tik, Sarina menyatakan, bahwa ada sebuah transkrip wawancara antara Pram dengan Max Lane bersama Gil Scrine dan Danial Indrakusuma yang dilakukan pada 16 Februari 1992.
Atas dasar izin Danial Indrakusuma, Sarina kemudian membagian sedikit penggalan tentang mesin tik Pram dan dari mana ia mendapat kertas di penjara pada Suara.com.
Baca Juga: Fadli Zon Beri Sindiran Telak ke Menkes Terawan dan 4 Populer Lainnya
"Pada mulanya saya menulis dengan tangan. Kemudian pada suatu kali seorang tapol, yang bekerja untuk kepentingan mereka, datang kepada saya membawa mesin tulis, dari gudang, yang sudah rusak. Jadi, teman-teman membetulkan mesin tulis," kata Pram pada Max Lane.
Setelah bebas dari penjara, Pram baru tau jika Jenderal Soemitro pernah mengiriminya masin tik. Atas konfirmasi Domo (Pengkomkamtim Orba), mesin tik memang dikirimkan namun yang diberikan oleh orba pada Pram adalah mesin tik bekas.
"Jadi rupanya mesin tulis untuk saya itu diganti dengan mesin tua itu, di Buru, tanpa sepengetahuan saya. Juga waktu bebas itu, saya mendengar eh..laporan dari mahasiswa-mahasiswa yang datang di rumah saya, bahwa Sartre (filsuf kontemporer Perancis) pun pernah mengirimkan mesin tulis, tapi saya tidak pernah terima," tambah Pram.
Dalam wawancara itu, Pram juga menegaskan bahwa ia memang beberapa kali mendapat surat pencatatan pengiriman barang dari Eropa yang diambil dari pos di Namlea, namun ia tak pernah menerima barang tersebut.
"Kemudian saya tahu, beberapa kali saya pernah mendapat surat tercatat pengiriman barang dari Eropa. Saya tandatangani, diambil dari kantor pos di Namlea, dan saya tidak pernah menerima barangnya," kata Pram dalam transkrip wawancara.
Untuk masalah kertas, Pram menyatakan bahwa ia mendapatkannya dari teman-temannya.
"Mendapat kertas, pertama kali dari teman-teman, yang mengumpulkan uang untuk membelikan saya kertas, juga saya dapat dari gereja, dan juga dapat dari usaha sendiri," kata Pras lagi.
Menilik kembali transkrip yang ia miliki, Sarina menyatakan: "Dulu saat saya membaca hasil wawancara, itu berkesan sekali bagi saya. Karena seolah Pram yang bercerita langsung bersama Hasyim Rahman dan Joesoef Isaak."
"Banyak kekejaman di Pulau Buru. Bahkan seandainya betul Suharto yang kasih mesin tik itu, tidak bisa disebut jasa. Apalagi nyatanya tidak," tambah Sarina.
Menurut Sarina, transkrip wawancara bersama Pram itu belum bisa ia bagikan sepenuhnya karena menyangkut beberapa hal.
"Untungnya wawancara dengan Pram, Joesoef Isaak dan Hasyim Rahman masih ada di arsip saya, tapi tidak bisa saya bagikan karena itu kerjaan dengan orang. Kalau sepotong sih ngga papa," tutupnya.
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya adalah sastrawan ulung Indonesia yang unik. Karya besarnya lahir di tangh tekanan dan penganiayaan penguasa orde baru.
Setelah kemerdekaan, dia menjadi salah satu pendukung Presiden Sukarno dan pada dekade 1950an aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat yang tenar dikenal sebagai Lekra. Sayangnya peristiwa 30 September membuat ia masuk didaftar orang-orang yang dianggap komunis.
Pram ditangkap oleh tentara dua minggu setelah kejadian 30 September, ia dituding sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang dituding berupaya melakukan kudeta untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
Para seniman yang bergabung dalam Lekra sendiri mengatakan bahwa organisasi itu bukanlah organ resmi PKI dan anggota-anggotanya tak serta-merta anggota PKI.
Setelah itu ia dipenjara di Pulau Buru sebagai tahanan politik oleh rezim Soeharto selama 14 tahun. Ditahanan, ia menghasilkan karyanya besarnya Tetralogi Buru, yang terdiri dari empat novel: "Bumi Manusia", "Anak Semua Bangsa", "Jejak Langkah", dan "Rumah Kaca".
Karya yang kini sudah diterjemahkan dalam lebih dari 20 bahasa di dunia itu, awalnya diceritakan secara lisan oleh Pram kepada rekan-rekannya di Buru. Setelah ia diizinkan menggunakan kertas dan mesin tik ia menulis kisah yang kemudian dibukukan pada 1980-an. Pram wafat pada usia 81 akibat penyakit diabetes dan jantung.