Suara.com - Menilik beberapa kejadian lalu, rasanya masih teringat bagaimana warga RT 53 RW 13, Purbayan , Kotagede, Yogayakarta memotong nisan salib di makam Albertus Slamet Sugihardi. Proses pemakaman berjalan lancar, sampai ada surat edaran kampong muncul berbunyi:
"Pemotongan papan nama Albertus Slamet Sugiardi yang ada di makam Jambon, untuk menghilangkan simbol kristiani atas saran pengurus Makam, tokoh masyarakat dan pengurus kampung. Saya dapat menerima dengan ikhlas dan tanpa permasalahan lagi.”
Itu baru soal kuburan di Yogyakarta, pasalnya penggusuran dan pelarangan tempat ibadah juga masih sering terjadi di Indonesia. Misalnya demo larang pembangunan Gereja Santa Clara yang terjadi pada Agustus 2019 hingga pembubaran acara Ahmadiyah di Bandung pada Januari 2019.
Ironisnya, Wakil Presiden Maruf Amin malah meminta India mencontoh Indoensia dalam persoalan toleransi antar umat beragama.
Baca Juga: Diperlakukan Rasis, Raffi Ahmad Disebut Corona Man di Eropa
"Kita menginginkan agar India bersikap seperti kita Indonesia yaitu membangun toleransi, moderasi di dalam beragama," kata Ma'ruf di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat pada Rabu (4/3/2020).
Padahal Setara Institute menemukan ada 639 kasus intoleransi kebebasan beragama yang tersebar di 10 provinsi Indonesia dalam masa pemerintahan Jokowi periode pertema.
Menurut hasil riset setara institute, 10 besar intoleransi dalam kebebasan beragama, yakni:
1. Jawa Barat 162 peristiwa
2. DKI Jakarta 113 peristiwa
Baca Juga: Polisi Selidiki Penyerangan Rasis Terkait Corona Pada Pelajar Singapura
3. Jawa Timur 98 peristiwa
4. Jawa Tengah 66 peristiwa
5. Aceh 65 peristiwa
6. Daerah Istimewa Yogyakarta 37 peristiwa
7. Banten 36 peristiwa
8. Sumatera Utara 28 peristiwa
9. Sulawesi Selatan 27 peristiwa
10. Sumatera Barat 23 peristiwa
Lembaga Imparsial juga menyatakan dalam website resminya, bahwa setidaknya ada 31 kasus intoleran di Indonesia terjadi sepanjang 2019.
“Dari 31 kasus itu, 12 kasusnya atau yang paling banyak terjadi adalah pelarangan atau pembubaran atas ritual, acara, ceramah dan sebagainya terhadap pelaksanaan agama,” ujar Koordinator Program Imparsial Ardimanto Asiputra yang tertulis di web resmi imparsial.
Jumlah kasus intoleran lain adalah kasus pelarangan mendirikan tempat ibadah, perusakan tempat ibadah, dan larangan perayaan budaya atau etnis tertentu.
Tak hanya di periode pertama, awal pemerintahan Jokowi diperiode kedua juga menghadapi fenomena intoleransi. Fenomena tersebut tergambar dalam hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
"Secara umum belum ada perbaikan dalam indikator beragama dan berpolitik. Dibanding 2018, tahun 2019 cenderung stagnan. Dan dibandingkan 2017 dan 2016, tampak situasi lebih buruk," ujar Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan saat merilis hasil survei 'Tantangan Intoleransi dan Kebebasan Sipil serta Modal Kerja pada Periode Kedua Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)' di Hotel Erian, Jakarta pada Minggu (3/11/2019).
Melihat intoleran di Indonesia, sebenarnya sudah dibahas habis Fracis Fukuyama dalam “Identity: The Demand for Dignity and The Politics and Resentmen”. Ia menyebutkan, kebangkitan kelompok mayoritas yang ingin diakui lebih superior dan ogah disamakan dengan minoritas.
Perilaku seperti itu ia sebut dengan Megalothyma, sikap mayoritas yang jelas menolak disetarakan dengan sesuatu yang berbeda dengannya.
Bangkitnya mayoritas caper ini nyatanya bukan hanya di sektor keagamaan, Indonesia tentu masih memiliki banyak pekerjaan rumah persoalan intolerasi di berbagai aspek, mulai dari ras, suku, hingga gender.
Sebagai contoh, Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Kota Surabaya, Jawa Timur, yang dikepung massa dari sejumlah kelompok, Jumat (16/8/2019) hingga berujung ujaran rasis.
Dengan wajah Indonesia yang begitu, India tolong jangan tiru Indonesia.