Suara.com - Bencana banjir yang melanda sejumlah kawasan, terutama wilayah Jabodetabek sejak awal tahun 2020 meninggalkan keresahan bagi warga.
Terlebih kekinian hingga Rabu (26/2/2020), banjir di beberapa kawasan belum surut sehingga aktivitas warga belum kembali normal.
Akibatnya, penanggulangan banjir yang dicanangkan pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi menjadi sorotan warga.
Terkait banjir yang diklaim berjilid-jilid ini, sejumlah peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memaparkan beberapa faktor pemicu banjir di awal tahun 2020. Berikut di antaranya!
Baca Juga: Ssst..Ini Cerita Lucu Jane Shalimar di Atas Ranjang Setelah Menikah
1. Hujan ekstrem yang merata di wilayah hilir
Menurut Peneliti Pusat Limnologi LIPI, M. Fakhrudin, penyebab utama banjir di awal tahun ini yakni hujan ekstrem yang merata di wilayah hilir. Selain itu, sistem drainase yang masih mengadalkan pompa dan tutupan lahan turut mempengaruhi.
"Sistem pompa menyebabkan proporsi jumlah air huhan yang dikonversi langsung menjadi aliran permukaan terus meningkat," ungkapnya seperti dikutip dari laman resmi LIPI, Rabu (26/2).
Fakhrudin mengatakan, sebanyak 30 sampai 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut dan presentase tersebut kekinian terus bertambah.
"Hujan deras yang cenderung meningkat di Jabodetabek tiap tahun akibat krisis iklim mestinya menjadi acuan untuk membangun drainase air hujan," lanjutnya.
Baca Juga: Banjir 2 Hari, 19.901 Warga Jabodetabek Mengungsi
2. Minimnya pengelolaan aspek teknis, ekologi dan sosial
Di lain pihak, faktor penyebab banjir juga dikemukakan oleh Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI, Galuh Syahbana Indrapahasta.
Galuh mengungkapkan banjir di Jabodetabek disebabkan oleh minimnya pengelolaan aspek teknis, ekologi dan sosial.
Ia mengamati, sudah sejak zaman kolonial, dicetuskan ide pembangunan Banjir Kanal Timur dan Barat. Ini menandakan bahwa, bencana banjir telah dikhawatirkan sejak lama.
"Secara subsistem teknis, perlu adanya perbaikan sistem drainase dan pompa," tutur Galuh.
3. Perilaku masyarakat yang kurang disiplin
Perilaku masyarakat yang kurang disiplin dalam menjaga kebersihan dan mengelola sampah juga turut andil menjadi pemicu banjir.
Pasalnya diketahui, produksi sampah Jakarta mencapai 0,5 hingga 0,8 kilogram per hari, lebih rendah dibandingkan angka Singapura sebesar 1 kilogram.
"Di Singapura jarang banjir. Ini berarti bukan sampahnya, tapi perilaku membuangnya" terang Galuh.
Senada dengan pendapat Galuh, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Gusti Ayu Surtiari pun menerangkan bahwa semua lapisan masyarakat diimbau untuk adaptif menghadapi banjir.
"Jabodetabek beresiko banjir karena topologi dan ekologinya, belum lagi curah hujan meningkat. Kalau banjir datang kita mau apa? Mau nggak mau harus beradaptasi," kata Gusti.
Ia pun melanjutkan, "Semua lapisan harus bersinergis dan tidak saling menghambat satu sama lain".
Taufiqurrahman: Banjir Bukan Hanya Tanggungan Anies Baswedan, Tapi...
Mantan Ketua Fraksi Demokrat DPRD DKI Jakarta Taufiqurrahman menilai persoalan banjir di ibu kota mestinya tidak hanya dibebankan kepada Anies Baswedan. Sejumlah pihak bertanggung jawab atas bencana tersebut.
Taufiqurrahman mengatakan, banjir merupakan bencana yang sudah menahun sehinga siapapun yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pasti akan mengalaminya.
Hal itu disampaikan Taufiqurrahman ketika menjadi narasumber program ILC TV One yang mengangkat tema "Jakarta Dirundung Banjir: Salahkah Anies?", Selasa (25/2/2020) malam.
"Setiap pejabat publik dapat kita pertanggungjawab terhadap permasalahan yang dihadapi warganya karena memang dipilih oleh rakyat seperti seperti bencana banjir kali ini," ungkapnya.
Kendati begitu, menurut Taufiqurrahman, setiap pemimpin daerah juga memiliki batas-batas kewenangan. Begitu pula dengan Anies yang dinilai sejumlah pihak gagal mengatasi banjir.
"Ada batas-batas kewenangan yang dimiliki gubernur, sehingga tidak objektif kalau melempar kesalahan ke Anies," imbuhnya.
Ia pun kembali menegaskan, "Siapapun gubernurnya pasti mengalami banjir"
Sebelumnya, terlebih dahulu Taufuqurrahm menjabarkan pendapatnya soal penyebab-penyebab banjir. Ia menjelaskan, banjir di Jakarta disebabkan oleh sejumlah faktor di antaranya: curah hujan tinggi, hujan lokal, perubahan iklim ekstrem dan pelanggaran tata ruang di daerah aliran sungai dari hulu sampai hilir.
Ia lantas menyebutkan, banjir yang juga disebabkan oleh kesalahan tata kelola dari hulu mestinya juga mendapat perhatian dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur Banten Wahidin Halim.
"Jakarta punya 13 sungai yang mengalir, 8 diantaranya milik Pemerintah Pusat. Jadi kalo bicara banjir, tidak bisa kalau kewenangan hanya milik Gubernur Jakarta tapi juga Pemerintah Pusat. Bahkan Gubernur Jawa Barat, karena daerah hulunya ada di sana," ungkapnya.
Oleh karenanya, ia berharap tiga pihak tersebut bisa duduk bersama membahas solusi untuk menanggulangi banjir.