Suara.com - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mempersilakan berbagai pihak terkait untuk memberikan tanggapan dan masukannya yang konstruktif kepada pemerintah, dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Selai itu, untuk membangun pondasi akademis yang kuat, Kemnaker juga berupaya mendengarkan pandangan, masukan dan tanggapan aspek filosofis, yuridis dan sosiologis dari kalangan akademisi dan praktisi ketenagakerjaan.
Hal itu disampaikan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, saat memberikan arahan sekaligus membuka acara diskusi Akademisi dan Praktisi tentang RUU Cipta Kerja di Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (21/2/2020).
"RUU Cipta Kerja melibatkan hampir semua kementerian dan lembaga, dan dapat dibayangkan, tidak mudah menyatukan persepsi serta mengharmonisasikan kepentingan masing-masing sektor. Untuk itu, kami mempersilakan untuk memberikan tanggapan dan masukannya yang konstruktif kepada pemerintah," katanya.
Berdasarkan survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini masih terdapat 7,05 juta pengangguran, yang mana 2,24 juta angkatan kerja baru, 8,14 juta kelompok setengah penganggur, dan 28,41 juta pekerja paruh waktu (45,84 juta angkatan kerja yang bekerja tidak penuh).
Baca Juga: Kemnaker Beri Pemeriksaan Kesehatan Gratis bagi Warga Terdampak Banjir
"Berdasarkan struktur ketenagakerjaan tersebut, kita tahu, ini tidak mudah, sehingga perlu upaya bersama untuk memecahkan persoalan tersebut," tambah Ida.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, lanjut Menaker, upaya yang harus bisa dilakukan adalah memperluas lapangan kerja melalui pemberian kesempatan dan fasilitas kemudahan berusaha dengan tetap menjaga perlindungan terhadap pekerja/buruh yang bekerja.
"Selain itu, upaya reformasi birokrasi, penyederhanaan perizinan, dan perubahan regulasi juga diperlukan untuk dapat menciptakan ekosistem berusaha dan bekerja yang lebih baik, " katanya.
Ida mengungkapkan, World Bank menyoroti peraturan ketenagakerjaan Indonesia terkait dengan kemudahan berbisnis. Dibandingkan dengan negara berpenghasilan menengah ke bawah di Asia Timur dan Pasifik, Indonesia dinilai memiliki peraturan ketenagakerjaan yang kaku, terutama terhadap perekrutan tenaga kerja.
Rilis terbaru Japan External Trade Organization (JETRO) terkait kondisi bisnis perusahaan Jepang di Asia dan Oceania, menyebut, sebanyak 55,8 persen perusahaan yang disurvei, menyatakan ketidakpuasannya terhadap produktivitas tenaga kerja Indonesia bila dibandingkan dengan upah minimum yang dibayarkan.
Baca Juga: Menipis, Kemnaker RI Kirim Bantuan Masker untuk Buruh Migran Indonesia
"Tingkat ketidakpuasan tersebut jauh lebih tinggi dari rerata negara-negara di Asia Tenggara yang hanya 30,6 persen. Bahkan, tingkat ketidakpuasan Kamboja masih di atas Indonesia dengan 54,6 persen," ujarnya.
Namun di sisi lain, Ida menambahkan, dalam praktiknya, tingkat kepatuhan perusahaan untuk memenuhi pembayaran kompensasi pemutusan hubungan kerja(PHK) sesuai peraturan sangat rendah.
Data Kemnaker pada 2019 mengungkapkan, dari sekitar 536 persetujuan bersama (PB) pemutusan hubungan kerja, yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai ketentuan UU Nomor 13/Tahun 2003 hanya sekitar 147 persetujuan bersama atau sekitar 27 persen. Sisanya, sebanyak 384 persetujuan bersama atau sekitar 73 persen tidak melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan UU Nomor 13/Tahun 2003.
Data ini sejalan dengan laporan World Bank, yang mengutip data Sakernas BPS 2018. Berdasarkan laporan pekerja, sebanyak 66 persen pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon; 27 persen pekerja menerima pesangon dari yang seharusnya diterima sesuai UU Nomor 13/Tahun 2003 dan hanya 7 persen pekerja menerima pesangon sesuai dengan ketentuan UU Nomor 13/Tahun 2013.
"Berdasarkan persoalan-persoalan tersebut, maka diperlukan penataan ulang ketentuan ketenagakerjaan melalui Omnibus Law Cipta Kerja, yang fokus pada upaya penciptaaan lapangan kerja yang seluas-luasnya dengan tetap menjaga perlindungan bagi pekerja/buruh," kata Ida.
Kemnaker, lanjutnya, merupakan institusi pemerintah yang memiliki tanggung jawab terkait perlindungan dan kesejahteraan mulai dari tenaga kerja yang belum bekerja, pekerja/buruh yang bekerja bahkan yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Kemnaker juga harus dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan pekerja/buruh dan kepentingan pengusaha, karena keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
"Suasana hubungan industrial yang harmonis dan dinamis harus tetap dijaga, agar kelangsungan bekerja dan kelangsungan usaha tetap dapat berjalan, " katanya. (*)