Suara.com - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad ikut merespons adanya penghentian 36 kasus korupsi di lembaga yang pernah dipimpinannya.
Terkait hal itu, Abraham menganggap keputusan menghentikan 36 kasus yang dilakukan oleh pimpinan KPK Firlis Cs di luar kewajaran.
"Saya pikir ini sesuatu yang di luar kewajaran di KPK selama ini," kata Abraham saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (21/2/2020).
Dia pun mengaku sangat menyayangkan atas keputusan yang diambil pimpinan KPK sekarang terkait penghentian puluhan kasus tersebut. Menurutnya, seharusnya ada pengkajian secara mendalam sebelum para penyelidik dan penyidik di lembaga antirasuah itu menghentikan sebuah perkara korupsi.
Baca Juga: KPK Hentikan 36 Kasus Korupsi, Massa 212 Minta Koruptor Digantung di Monas
"Sebelum menghentikan kasus di tingkat penyelidikan harus dikaji dan dianalisis bersama teman-teman penyelidik dan penyidik agar supaya kami mendapat gambaran yang obyektif dan jelas mengenai setiap kasus itu," kata dia.
Abraham pun menceritakan ketika masih menjadi pimpiman KPK di periode 2011-2015. Menurutnya, pimpinan KPK ketika itu bersama tim penyidik dan tim penyelidik tidak mudah untuk menghentikan kasus - kasus di tahap penyelidikan.
"Pada masa periode kepemimpinan saya dan teman-teman. Pimpinan tidak boleh dengan mudah menghentikan Penyelidikan, ada mekanisme yang obyektif dan akuntabel yang harus dilakukan sebelum mengambil keputusan," kata Abraham.
Sebelumnya, Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri menyebut alasan dilakukan penghentian penyelidikan terhadap 36 kasus karena dianggap tak memiliki bukti kuat untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan. Puluhan kasus yang resmi disetop merupakan penyelidikan kasus dari tahun 2011 hingga 2015.
Namun, Ali menyebut ada pula kasus di tahun 2020 yang ikut dihentikan. Menurutnya, puluhan kasus yang resmi disetop KPK cukup beragam.
Baca Juga: 36 Kasus di KPK Disetop Firli Cs, Demokrat: Apa Ada Indikasi Tebang Pilih?
"Untuk tahun 2020, jenis penyelidikan yang dihentikan cukup beragam, yaitu terkait dugaan korupsi oleh kepala daerah, BUMN, aparat penegak hukum, kementerian atau lembaga, dan DPR atau DPRD," ujar Ali, Kamis (20/2/2020).