Suara.com - Tahanan politik Papua, Surya Anta Ginting sangat kecewa dengan ketidakseriusan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang membuat pengadilan dirinya ditunda dua kali. Baginya, ini membuktikan bahwa dirinya ditangkap atas dasar politik, bukan melanggar undang-undang.
Surya Anta mengatakan indikasi ini sudah muncul sejak awal penangkapan enam aktivis Papua di Jakarta akhir Agustus tahun lalu, hingga kini JPU tidak bisa menghadirkan pelapor dan saksi.
"Ini menunjukkan bahwa aparatur negara ini lebih suka menangkap orang, lebih suka mendakwa orang, tetapi tidak mampu membuktikannya," kata Surya di PN Jakpus, Kamis (20/2/2020).
Menurutnya, dua pasal terkait tuduhan makar dan pemufakatan jahat saat aksi damai dan pengibaran bendera bintang kejora di depan istana negara 28 Agustus 2019 yang didakwakan kepadanya tidaklah gampang dibuktikan karena tidak ada alat bukti yang kuat.
"Dasar hukumnya tidak terpenuhi, pihak kepolisian dan kejaksaan mau menggatok-gatokkan, cocoklogi antara yel-yel, lagu dan bendera, padahal semua itu sudah ada dari dulu," tegasnya.
Menurutnya selama aksi berlangsung mahasiswa dan aktivis Papua di Jakarta selalu berkoordinasi dengan pihak kepolisian hingga aksi berakhir damai.
Bahkan Kapolres Jakarta Pusat kata dia, sempat menawarkan makan malam usai aksi, namun tak mereka terima demi etika.
"Jadi semua berjalan smooth damai, lah kok bapak Jenderal Purnawirawan Tito Karnavian menyatakan bahwa tangkap orang-orang itu," tanya Surya.
Surya Anta kemudian menduga penangkapan 6 aktivis Papua termasuk dirinya adalah cara Presiden Joko Widodo untuk menjaga elektabilitas politiknya dan membungkam gerakan masyarakat Papua yang menuntut referendum.
Baca Juga: Digebuki saat Wawancara Polisi, Jurnalis LKBN Antara Malah Jadi Tersangka
"Itu instruksi politik untuk mengamankan nama baik Jokowi di hadapan oposisinya, karena pihak oposisi berkali-kali mendapatkan pasal makar, lah kok ini tidak mendapatkan pasal makar kan," katanya.
"Kedua saya pikir penangkapan kami itu merupakan instruksi politik untuk mengamankan situasi Papua, posisi kami ini vital kami di Jakarta kami punya kemampuan untuk berbicara di depan media nasional dan internasional, sedangkan di papua tidak bisa," lanjut Surya menambahkan.
Adapun, enam terdakwa tapol Papua yang ditahan adalah Ariana Elopere, Dano Anes Tabuni, Suryanta Anta Ginting, Ambrosius Mulait, Charles Kossay dan Issay Wenda.
Mereka disangkakan Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang Makar atau Pasal 110 ayat (1) KUHP tentang pemufakatan jahat atas perbuatannya mengibarkan bendera bintang kejora di depan Istana Negara pada 28 Agustus 2019 lalu.