Mirip Rezim Orde Baru, RUU Omnibus Law Disebut Mengancam Kebebasan Pers

Kamis, 20 Februari 2020 | 16:24 WIB
Mirip Rezim Orde Baru, RUU Omnibus Law Disebut Mengancam Kebebasan Pers
Ilustrasi kebebasan pers. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peneliti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Mona Ervita menyebut keberadaan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja bakal mengancam masa depan kebebasan pers di Indonesia.

Pasalnya, Mona menilai, ada keterlibatan pemerintah dalam mengatur perizinan perusahaan pers seperti zaman orde baru yang dipimpin mantan Presiden Suharto. 

"Kedepannya nanti kebebasan pers itu akan dibatasi, karena ada keterlibatan pemerintah di situ. Nanti ke depannya perusahaan pers itu ada izin usaha itu kalau di perusahaan pers itu ada aturan izin usaha pendirian perusahaan pers. Itu kayak di masa orde baru," kata Mona dalam Konferensi Pers Bedah Pasal Petaka RUU Cilaka di Kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Jalan Tegal Parang Utara, Mampang Prapatan, Jakarta, Kamis (20/2/2020).

Acara diskusi bertema Bedah Pasal Petaka RUU Cilaka yang digelar di kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Jalan Tegal Parang Utara, Mampang Prapatan, Jakarta, Kamis (20/2/2020). (Suara.com/Ummi Hadyah Saleh).
Acara diskusi bertema Bedah Pasal Petaka RUU Cilaka yang digelar di kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Jalan Tegal Parang Utara, Mampang Prapatan, Jakarta, Kamis (20/2/2020). (Suara.com/Ummi Hadyah Saleh).

Nantinya kata Mona, jurnalis akan sulit mengkritisi pemerintah karena RUU tersebut cenderung membatasi kebebasan pers. Sebab kata Mona, akan ada sanksi, baik sanksi administratif, pencabutan hingga pembredelan perusahaan pers.

Baca Juga: RUU Omnibus Law Cipta Kerja Presiden Bisa Cabut Perda, Anies: Belum Lihat

"Ketika ini wartawan mengkritisi kinerja pemerintah itu akan cenderung membatasi kebebasan pers. Nanti ada terkena sanksi administratif seperti pencabutan, pembekuan perusahaan pers, pembredelan," ucap dia.

Tak hanya itu, LBH Pers, kata Mona juga menyoroti sanksi yang ada di Pasal 18 RUU Cipta Kerja.

Ia pun mempertanyakan urgensi pemberian sanksi kepada wartawan atau perusahaan pers apakah untuk memiskinkan perusahaan pers atau sebagai efek jera.

"Seperti misalnya kalau disanksi seorang menghalangi kerja pers, yang dulunya itu sanksinya diberikan pidana denda sebanyak Rp 200 juta itu naik menjadi Rp 2 miliar. Bagaimana coba kalau kami bayangkan misalnya perusahaan pers di daerah. Untuk Rp 50 juta saja syukur-syukur bisa menggaji wartawannya, ini dikenai pidana denda Rp 2 miliar," ucap dia.

Kemudian Mona juga menyoroti poin yakni soal pemberian denda kepada media yang memuat opini bertentangan dengan nilai kesusilaan moral agama dan menolak hak jawab. Perusahaan pers kata Mona harus membayar denda yang semula Rp 100 juta naik menjadi Rp 2 Miliar.

Baca Juga: Bahas Omnibus Law, Ketua DPR Minta Masukan Ulama

"Kalau ada perusahaan pers yang memuat opini yang bertentangan dengan nilai kesusilaan moral agama seperti itu, dan menolak hak jawab, ini sama saja seperti ketika wartawan menghalangi kerja pers, jadi sanksinya sama saja. Individu dengan perusahaan pers sama saja. Dinaikkan dendanya dari Rp 100 juta itu naik jadi Rp 2 miliar," kata Mona.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI