Suara.com - Koordinator Departemen Antarlembaga Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN) Akbar Rewako menyebut pasal-pasal yang ada di RUU Omnibus Law Cipta Kerja bakal menghancurkan kehidupan kaum buruh.
Hal ini dkatakan Akbar saat Konferensi Pers bertajuk Bedah Pasal Petaka RUU Cilaka di Kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Jalan Tegal Parang Utara, Mampang Prapatan, Jakarta, Kamis (20/2/2020).
"Kalau kami baca pasal-pasal secara utuh, RUU ini hancurkan kehidupan buruh yang sudah hancur. Dengan Undang-undang ketenagakerjaan 13 tahun 2003 sudah hancur. Apalagi mau dihancurkan pakai UU Cipta Kerja," ujar Akbar.
Akbar kemudian menyoroti poin-poin yang menghancurkan kehidupan kaum buruh di dalam RUU Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Baca Juga: Pernyataannya Tuai Polemik, DPR Minta Kepala BPIP Tak Lagi Bicara ke Media
Poin pertama yakni upah dan fleksibilitas hubungan kerja yang berdampak kepada kehidupan dan kesejahteraan buruh.
"Kenapa ini penting? Sebab pengusaha selalu bahas dua poin ini. Pemerintah selalu beralasan bahwa di draf ruu cipta kerja masih ada kok pesangon," ucap Akbar.
"Tapi kalau kita cermati di pasal-pasalnya pesangon itu akan hilang dengan sendirinya saat hubungan kerja itu dalam status PKWT. Sebab dalam draf ruu, pekerja yang mendapat pesangon adalah pekerja tetap. Jadi memang pemerintah memutar balik logika kita," sambungnya.
Kemudian poin kedua yang ia soroti yakni ketentuan pengupahan dalam draf RUU Cipta Kerja.
Menurutnya di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, penghitungan upah berdasarkan satuan kerja dan satuan waktu.
Baca Juga: Dipanggil DPR, Ketua DPRD DKI Diminta Jelaskan Polemik Bangun Hotel di TIM
Hal tersebut berbeda dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ketentuan upah yang berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL)
"Nah upah kerja yang seperti itu, kan sangat mereduksi kehidupan buruh. Ke depan bisa tidak ada upah minimum kabupaten/kota,maupun sektoral. Sebab yang menentukan adalah soal satuan dan waktu," kata Akbar.
SGBN kata Akbar, juga menyoroti ketentuan pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang dihapus di dalam draf RUU Cipta Kerja.
Di dalam pasal tersebut mengatur jenis pekerjaan apa saja yang boleh dikontrak.
"Saat pasal (59) itu dihapus, semua jenis pekerjaan itu boleh dan sah untuk mempekerjakan dengan sistem kontrak. Kemudian sewaktu-waktu bisa di PHK. Mendirikan serikat bisa di PHK," tuturnya.
Tak hanya itu, pihaknya juga mengkritisi soal penghapusan pasal-pasal yang mengatur outsourcing dalam draf RUU Cipta Kerja.
Menurut Akbar, penghapusan pasal-pasal yang mengatur outsourcing menyebabkan semua pekerjaan bisa menggunakan sistem outsourcing.
"Nah dengan adanya RUU ini pasal-pasal yang atur soal outsourcing itu ilang. Jadi semua nanti bisa dioutsourcing. Bagi kami ini adalah bentuk perbudakan modern. Jadi ada orang hidup bisa kaya dari keringat orang lain," ucap Akbar.
selain itu mereka juga menyoroti pasal 90 UU Ketenagakerjaan soal sanksi pengupahan yang dihapuskan di draf RUU Cipta Kerja.
"Ada aturannya saja masih banyak pelanggaran, apalagi saat dihapus. Sekarang masih banyak perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan upah di bawah minimum," kata dia.
Terkait jaminan kesehatan untuk pekerja kata Akbar, juga tidak lagi diatur sebagai kewajiban pengusaha di draf RUU Cipta Kerja.
"Ini berbahaya sekali saat dalam ruu tidak ada lagi kewajiban bagi pengusaha buat tak daftarkan ke BPJS. Karena dengan hubungan kerja yang sangat lentur kan pengusaha enggak ada kewajiban lagi buat daftarkan. Itulah yang kita sebut liberalisasi diliberalkan. Upah diliberalkan, kehidupan buruh makin miskin," katanya
Untuk diketahui, pemerintah telah menyerahkan draf serta surat presiden (surpres) Omnibus law RUU Cipta Kerja ke DPR.
Draf dan surpres diserahkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kepada Ketua DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/2/2020).