"Nah upah kerja yang seperti itu, kan sangat mereduksi kehidupan buruh. Ke depan bisa tidak ada upah minimum kabupaten/kota,maupun sektoral. Sebab yang menentukan adalah soal satuan dan waktu," kata Akbar.
SGBN kata Akbar, juga menyoroti ketentuan pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang dihapus di dalam draf RUU Cipta Kerja.
Di dalam pasal tersebut mengatur jenis pekerjaan apa saja yang boleh dikontrak.
"Saat pasal (59) itu dihapus, semua jenis pekerjaan itu boleh dan sah untuk mempekerjakan dengan sistem kontrak. Kemudian sewaktu-waktu bisa di PHK. Mendirikan serikat bisa di PHK," tuturnya.
Baca Juga: Pernyataannya Tuai Polemik, DPR Minta Kepala BPIP Tak Lagi Bicara ke Media
Tak hanya itu, pihaknya juga mengkritisi soal penghapusan pasal-pasal yang mengatur outsourcing dalam draf RUU Cipta Kerja.
Menurut Akbar, penghapusan pasal-pasal yang mengatur outsourcing menyebabkan semua pekerjaan bisa menggunakan sistem outsourcing.
"Nah dengan adanya RUU ini pasal-pasal yang atur soal outsourcing itu ilang. Jadi semua nanti bisa dioutsourcing. Bagi kami ini adalah bentuk perbudakan modern. Jadi ada orang hidup bisa kaya dari keringat orang lain," ucap Akbar.
selain itu mereka juga menyoroti pasal 90 UU Ketenagakerjaan soal sanksi pengupahan yang dihapuskan di draf RUU Cipta Kerja.
"Ada aturannya saja masih banyak pelanggaran, apalagi saat dihapus. Sekarang masih banyak perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan upah di bawah minimum," kata dia.
Baca Juga: Dipanggil DPR, Ketua DPRD DKI Diminta Jelaskan Polemik Bangun Hotel di TIM
Terkait jaminan kesehatan untuk pekerja kata Akbar, juga tidak lagi diatur sebagai kewajiban pengusaha di draf RUU Cipta Kerja.